Kamis, 09 Juni 2011

ARTIKEL ANDI

“SELUK-BELUK SOSIOLINGUISTIK”
Oleh: Andi Syahputra Harahap

Problematika KonsepDiglosia
Jika dalam bahasa Indonesia hanya terdapat satu ragam baku, maka dalam bahasa tertentu ditemukan situasi yang berbeda yang di dalamnya terdapat dua ragam baku yang sama-sama diakui dan dihormati. Hal tersebut biasa disebut sebagai diglosia. Diglosia adalah sejenis pembakuan bahasa yang khusus ketika dua ragam bahasa berada berdampingan di dalam keseluruhan masyarakat bahasa dan masing-masing ragam bahasa itu diberi fungsi sosial tertentu.
Pembahasan diglosia berkenaan dengan pemakaian ragam bahasa rendah dan ragam bahasa tinggi dalam suatu kelompok masyarakat. Ciri-ciri situasi diglosia yang paling penting adalah pengkhususan fungsi masing-masing ragam bahasa. Ragam bahasa tinggi khusus digunakan dalam situasi-situasi formal seperti kegiatan keagamaan, pidato-pidato, kuliah, siaran berita, atau pada tajuk rencana dalam surat kabar. Sebaliknya, ragam bahasa rendah biasa digunakan dalam situasi-situasi santai seperti percakapan sehari-hari dalam keluarga, antara teman, cerita bersambung dalam radio, atau dalam sastra rakyat. Dalam situasi diglosia akan kita jumpai adanya tingkat-tingkat bahasa dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura, yang masing-masing mempunyai nama. Dalam masyarakat Sunda dikenal undak usuk basa, di dalamnya terdapat aturan tata bahasa yang mengatur tingkatan ragam bahasa rendah dan ragam bahasa tinggi seperti basa cohag, basa loma, basa sedeng, basa leme. Di Jawa terdapat bahasa ngoko, krama, krama inggil.
Keduanya mempunyai ukuran baku masing-masing dan diakui oleh masyarakat pemakainya. Ragam-ragam tersebut menduduki fungsi sosial, walaupun sekarang fungsi sosial tersebut sulit dicari. Dahulu, ragam bahasa seperti dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa benar-benar digunakan sesuai dengan tingkatan sosial masyarakatnya juga sesuai situasi. Dalam bahasa Jawa misalnya, krama inggil dipakai untuk sastra, sedangkan untuk percakapan sehari-hari menggunakan bahasa ngoko. Begitu juga dalam bahasa Sunda, ketika seorang anak berbicara dengan seorang guru tidak bisa menggunakan bahasa loma, tetapi harus menggunakan bahasa lemes. Namun, sekarang hal tersebut sulit sekali untuk dicari.
Pemakaian suatu ragam dalam bahasa-bahasa daerah itu bukan didasarkakn atas topik pembicaraan, melainkan oleh siapa dan untuk siapa. Dalam masayarakat Bali, terdapat kasta-kasta dalam masyarakatnya, ada suatu aturan pemakaian ragam bahasa. Misalnya, kasta rendah harus menggunakan bahasa rendah untuk sesamanya dan bahasa tinggi untuk kasta yang lebih tinggi. Namun, menurut Fishman dalam Sumarsono, pengertian diglosia seperti telah dibahas di atas merupakan teori yang sudah dianggap klasik. Jika menurut Ferguson, diglosia itu mengacu kepada kondisi ‘dua ragam dalam satu bahasa hidup berdampingan dalam guyup bahasa, dan masing-masing ragam itu mempunyai peran atau fungsi tertentu, maka Fishman mengembangkan gagasan peran atau fungsi itu ke wilayah yang lebih luas. Menurutnya, diglosia adalah obyek sosiolinguistik yang mengacu kepada pendistribusian lebih dari satu ragam bahasa atau bahasa yang mempunyai tugas-tugas komunikasi berbeda dalam suatu masyarakat. Fishman mengacu kepada perbedaan linguistik, bagaimanapun bentuk dan wujudnya, mulai dari perbedaan gaya dalam satu bahasa sampai kepada penggunaan dua bahasa yang sangat berbeda.
Menurut Fishman, yang penting dalam hal ini adalah masing-masing ragam itu mempunyai fungsi yang berbeda dan dalam ranah yang berbeda pula. Dicontohkan Sumarsono, di sebuah kota besar di Indonesia terdapat beberapa suku bangsa dengan bahasa daerah masing-masing di samping bahasa Indonesia. Menurut Sumarsono, fungsi bahasa daerah berbeda dengan bahasa Indonesia dan msing-masing mempunyai ranah yang berbeda pula. Bahasa daerah membangun suasana kekeluargaan, keakraban, kesantaian, dan dipakai dalam ranah kerumahtanggaan, ketetanggaan, dan kekariban, sedangkan bahasa Indonesia membangun suasana formal, resmi, kenasionalan, dan dipakai misalnya dalam ranah persekolahan, ranah kerja, dan dalam ranah keagamaan.
Ancangan Pemilihan Bahasa
Dari kenyataan yang ada baik dalam membimbing bahasa, mendapatkan bimbingan bahasa ataupun meneliti sendiri pada umumnya dasar pijakan awalnya pada ancangan penelitian bahasa. Apapun permasalahan yang akan diungkap selalu diarahkan pada salah satu ancangan. Karena paham positivisme sudah banyak merasuk ke dalam sistem keilmuan di negeri tercinta ini, maka pada umumnya mahasiswa digiring untuk menggunakan ancangan kuantitatif. Keadaan seperti ini masih mendingan, karena masih ada yang kurang memahami ancangan penelitian sehingga apabila dibaca laporannya tidak jelas ancangan apa yang digunakan.
Selain itu, faktor lain yang turut andil dalam ketidakjelasan ancangan penelitian yang digunakan ini adalah faktor kebijakan. Seperti kebijakan akademis yang dikeluarkan jurusan atau fakultas yang meminta “judul penelitian” pada para mahasiswa yang akan menyusun skripsi. Karena pada dasarnya ancangan penelitian ini hanyalah sarana dan dasar pijak penelitian, maka mestinya, bukan judul yang diminta tetapi permasalahan, kerangka berfikir, dan tujuannya. Lebih lengkap lagi jika diminta judul disertai permasalahan, tujuan, manfaat, dan kerangka berfikir.
Secara rasional tentunya harus ditentukan dulu benda yang menjadi perhatian, lalu tujuannya “ingin dapakan atau dibagaimanakan” benda tersebut, manfaatnya untuk apa barulah menentukan alat apa yang akan digunakan untuk memperlakukan benda tersebut agar tujuan bisa tercapai. Dengan kata lain ketepatan ancangan yang digunakan tergantung kepada permasalahan dan tujuan yang hendak dicapai.
Masyarakat Tutur
Tutur merupakan sebuah sistem atau istilah kekerabatan. Sistem atau istilah kekerabatan ini berlaku pada masyarakat Indonesia. Istilah lain dari tutur adalah bentuk sapaan. Bertutur sendiri berarti penggunaan tutur, sistem atau istilah kekerabatan tadi. Namun, dewasa ini, ada semacam gejala kurangnya penggunaan tutur. Dengan kata lain, pengguna tutur sudah mulai meninggalkan pemakaian tutur. Kurangnya penggunaan tutur dalam masyarakat Indonesia, secara umum disebabkan dua faktor. Pertama, faktor internal, yaitu pengguna tutur yang bersangkutan yaitu masyarakat Indonesia sendiri. Tutur tidak diajarkan di dunia pendidikan formal mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Begitu juga secara informal.
Pengguna tutur juga enggan mempelajari tutur. Salah satu akibatnya, tutur jarang digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, lingkungan bertutur tidak akan tercipta baik antar individu, dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Lebih dari itu, tutur tidak dilestarikan, misalnya dalam bentuk pengkajian, penelitian, pensosialisasian dan pendokumentasian.
Kedua, faktor eksternal yaitu pengaruh yang berasal dari luar masyarakat ini. Suku ini merupakan sebuah masyarakat yang terbuka, toleran, dinamis dan akomodatif terhadap perubahan. Dengan begitu, sesuatu yang datang dari luar tadi, memungkinkan perubahan pada mind set, sikap dan tindakan masyarakat Gayo. Beberapa pengaruh dari luar tersebut, misalnya: penggunaan bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa Indonesia kini cukup meluas dalam masyarakat Indonesia.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar dalam komunikasi lebih-lebih di kabupaten induk. Dalam keluarga terutama di empat kecamatan seperti kecamatan Bebesen, kecamatan Kebayakan, kecamatan Lut Tawar dan kecamatan Pegasing, pemakaian bahasa Indonesia kerap dipakai. Heterogenitas budaya juga tercermin di keempat kecamatan di atas.
Kajian Bahasa dalam Kontekstual Sosial
Penelitian bahasa dalam lingkungan sosial telah tumbuh secara signifikan selama empat puluh tahun terakhir, dan sekarang mencakup kebanyakan bahasa dan wilayah di dunia. Sosiolinguistik meneliti hubungan antara bahasa dan masyarakat, antara menggunakan bahasa dan struktur sosial dimana pengguna bahasa hidup.
Sosiolinguis menggunakan berbagai pendekatan yang berbeda dalam mengumpulkan data mereka, tetapi semua mencoba menjawab beberapa bagian dari pertanyaan mendasar: yang berbicara bahasa apa, kepada siapa, kapan, bagaimana, dan mengapa kata pengantar ini membahas pengembangan dan aspek utama sosiolinguistik sebagai suatu disiplin ilmu, dan menempatkan kasus Baltik dalam perspektif komparatif yang lebih luas. Dalam dialog Cratylusnya, Plato membicarakan asal mula kata, dan khususnya soal apakah hubungan kata-kata dengan benda yang dirujuknya adalah alami ataukah hanya merupakan hasil kesepakatan saja. Dialog itu memberikan kepada kita kilasan pertama ke dalam perselisihan yang telah berlangsung satu abad antara kaum Analogis dan Anomalis.
Bagaimanapun sengitnya perdebatan antara dua kubu tersebut, pemikiran-pemikiran yang muncul tentang bahasa menyadarkan kepada para filosof bahwa bentuk-bentuk bahasa berubah dalam perjalanan waktu. Secara perlahan namun pasti, mereka akhirnya menemukan hakikat sejati dari bahasa yang terefleksikan lewat wujud-wujud dan perubahannya. Di bawah ini adalah beberapa hakikat bahasa yang telah ditemukan oleh para filosof. Sebenarnya ada banyak sekali hakikat bahasa yang telah ditemukan, namun penulis membatasinya menjadi lima saja.
a. Bahasa Sebagai Sistem
Hakikat ini sebenarnya telah diyakini oleh pengikut paham anomalis namun hakikat ini menjadi jelas setelah Kaum Sofis pada abad ke-5 merumuskan kesistematisan bahasa secara empirik. Salah satu tokoh dari kaum Sofis adalah Pitagoras. Ia membedakan tipe-tipe kalimat atas: narasi, pertanyaan, jawaban, perintah, laporan, doa dan undangan. Plato juga menegaskan kesistematisan bahasa dengan memberikan perbedaan kata dalam Onoma dan Rhema. Onoma dapat berarti nama atau nomina, dan subyek. Rhema dapat berarti frasa, verba, dan predikat. Onoma dan Rhema merupakan anggota dari logos yang berarti kalimat atau frasa atau klausa.
Ide bahwa bahasa memiliki sistem juga didukung oleh Aristoteles. Sejalan dengan pendahulunya Plato, ia tetap membedakan dua kelas yakni Onoma dan Rhema, tetapi ia menambahkan satu lagi yang disebut Syndesmoi. Syndesmoi ini kemudian digolongkan ke dalam “penghubung partikel”. Kata-kata lebih banyak bertugas dalam hubngan sintaksis. Aristoteles selalu bertolak dari logika. Ia memberikan pengertian, definisi, dan makna dari sudut pandang logika. Selain membedakan Onoma, Rhema, dan Syndesmoi, Aristoteles juga membedakan jenis kelamin kata. Ia membedakan tiga jenis kelamin kata atas maskulin, feminin dan neuter atau netral. Ia juga mengakui bahwa rhema menunjukkan pula pada tense atau waktu, yaitu Rhema dapat menunjukkan apakah pekerjaan telah selesai, belum selesai dan sebagainya.
Keyakina bahwa bahasa merupakan sebuah sistem diyakini kebenaranya hingga sekarang terutama oleh para ahli linguistik. Banyak aliran-aliran yang pada intinya menganalisa sistem-sistem dalam bahasa bermunculan dan memperkaya keragaman linguistik.
b. Bahasa Sebagai Lambang
Eaerns Cassirer, seorang sarjana dan seorang filosof mengatakan bahwa manusia adalah mahluk bersimbol. Hampir tidak ada kegiatan yang tidak terlepas dari simbol atau lambang. Termasuk alat komunikasi verbal yang disebut bahasa. Satuan-satuan bahasa misalnya kata adalah simbol atau lambang.
Kalau ide atau konsep untuk menyatakan kematian adalah bendera hitam, dan ide atau konsep ketuhanan dilambangkan dengan gambar bintang, maka lambang-lambang bahasa diwujudkan dalam bentuk bunyi, yang berupa satuan-satuan bahasa, seperti kata atau gabungan kata yang sifatnya arbriter. Dalam bahasa Indonesia, binatang berkaki empat yang bisa dikendarai dilambangkan dengan bunyi [kuda], dalam bahasa Inggris berupa bunyi yang ditulis horse dan dalam bahasa Belanda berupa bunyi yang ditulis paard.
c. Bahasa Adalah Bunyi
Hakikat bahasa sebagai bunyi di kupas dengan seksama oleh Kaum Stoik. Kaum Stoik merupakan kelompok filosof atau logikus yang berkembang pada permulaan abad ke-4 SM. Kontribusi mereka cukup besar dalam menganalisis bahasa, walaupun mereka belum lepas dari pandangan logika. Kaum ini membicarakan bentuk-bentuk bermakna bahasa dengan cara membedakan tiga aspek utama dari bahasa yaitu tanda atau simbol yang disebut semainon, dan ini adalah bunyi atau materi bahasa makna, atau apa yang disebut lekton dan hal-hal eksternal yang disebut benda atau situasi itu atau apa yang disebut sebagai pragma. Kaum ini memiliki ketertarikan yang sangat tinggi pada bunyi atau phone, dan mereka membedakan antara legein, yaitu tutur bunyi yang mungkin merupakan bagian dari fonologi sebuah bahasa namun tidak bermakna, dan propheretai atau ucapan bunyi bahasa yang memiliki makna.
d. Bahasa itu Bermakna
Penelitian sitematis tentang konsep ”bahasa itu bermakna” juga dilakukan oleh Kaum Stoik. Dalam bidang lekta, atau makna, mereka mempunyai pandangan yang berbeda dengan analisis logika Aristoteles yang kurang sistematis dan sering absurd maknanya. Aristoteles hanya mengakui adanya onoma dan onomata.
Semua perubahan dari onoma sesuai dengan fungsinya tidak ia akui. Ia sebut itu kasus saja. Hal ini disebabkan oleh karena dasar logika Aristoteles dengan silogismenya yang hanya menggunakan kode huruf A, B, dan C dan tidak mempergunakan bentuk-bentuk onoma secara praktis dalam contoh. Kaum Stoik mengatakan bahwa kasus itupun Onoma yang sesuai dengan fungsinya. Lalu mereka membedakan atas kasus nominatif, genetif, datif, akusatif dan sebagainya. Hal yang sama juga berlaku bagi Rhema. Walaupun Aristoteles telah membedakan rhema dalam tense, ia tetap berbicara tentang sesuatu yang tidak komplit. Kaum Stoik dalam hal ini membedakan rhema dan kategorrhema, yang dalam pengertian kita sekarang memiliki makna finit dan infinit.
e. Bahasa itu Universal
Kaum Modiste adalah filosof jaman pertengahan yang menaruh perhatian besar pada tata bahasa. Mereka disebut demikian karena ucapan mereka yang terkenal dengan nama De modis Sicnficandi. Merekapun mengulang pertentangan lama antara Fisis dan Nomos, antara Analogi dan Anomali. Mereka menerima konsep Analogi karena menurut mereka bahasa bersifat reguler dan universal.
Keuniversalan bahasa dapat dibuktikan dengan adanya sifat dan ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh bahasa-bahasa di dunia. Karena bahasa itu berupa ujaran, maka ciri-ciri universal dari bahasa yang paling umum dijumpai adalah bahwa bahasa-bahasa di dunia mempunyai bunyi bahasa yang umum yang terdiri dari konsonan dan vokal. Bahwa sebuah kalimat pada bahasa-bahasa di dunia tersusun dari kata-kata yang memiliki fungsi dan peran tertentu. Kesamaan sifat dan ciri inilah yang kemudian dikenal sebagai universalitas bahasa.
A. Peranan Filsafat dalam Mengembangkan Ilmu Bahasa
Umur kajian tentang bahasa itu sudah tua. Dimulai sejak zaman Yunani kuno hingga jaman modern. Setiap periode perkembangan kajian bahasa, filsafat berperan secara signifikan. Pada awalnya, filosoflah yang mengkaji bahasa dan memberikan definisi, kategori, membedakan jenis, bentuk dan sifat, dan perbedaan-perbedaan lainnya.
Setelah linguistik mampu berdiri sendiri menjadi satu bidang ilmu yang kukuh, peranan filsafat masih tetap mengakar kuat. Meskipun bukan lagi filosof yang mengkaji bahasa karena telah diambil alih oleh linguis, namun dimensi-dimensi filsafat masih tetap melekat kuat di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh masih tetap diyakininya filsafat bahasa sebagai roh dari ilmu bahasa dalam menemukan teori-teori kebahasaan baru oleh para linguis.
Kelas Sosial, Bahasa dan Sosiolisasi
Kelas sosial mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Misalnya si A adalah seorang bapak di keluarganya, yang juga berstatus sosial sebagai guru. Jika dia guru di sekolah negeri , dia juga masuk ke dalam kelas pegawai negeri. Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan terdidik.
1.Ragam bahasa kelas sosial
Kita melihat di Indonesia kelas sekelompok pejabat yang mempunyai kedudukan tinggi. Tetapi ragam bahasanya justru nonbaku. Ragam bahasa mereka dapat dikenali dari segi lafal mereka, yaitu akhiran –kan yang dilafalkan –ken. Jadi perbedaan atau penggolongan kelompok masyarakat manusia tercermin dalam ragam bahasa golongan masyarakat itu.
2.Peranan Labov
William Labov mengemukakan hasil penelitiannya yang luas tentang tutur kota. Ia mengadakan wawancara yang direkam, tidak dengan sejumlah kecil informan, hanya terdiri dari 340 orang. Dengan ini Lobov memasukkan metode sosiologi ke dalam penelitiannya. Sosiologi menggunakan metode pngukuran kuantitatif dengan jumlah besar, dan dengan metode sampling.
3.Kelas sosial dan ragam baku
Ada kaidah yang baku dalam bahasa Inggris. Jika subjek adalah kata ganti orang ke tiga tunggal, predikat kata kerjanya harus menggunakan sifiks-s. kemudian diadakan penelitian apakah ada hubungan antara kelompok sosial dengan gejala bahasa ini. Penelitian diadakan di dua tempat, yaitu di Detroit dan di Norwich. Informannya meliputi berbagai tingkat kelas sosial, yaitu: Kelas Menengah Tinggi,Kelas Menengah Atas, Kelas pekerja menengah, Kelas pekerja bawah.
B. Keterkaitan Bahasa dengan Komunikasi
Bahasa dengan komunikasai sangat berhubungan. Dalam setiap komunikasi bahasa ada dua pihak yang terlibat, yaitu pengirim pesan dan penerima pesan. Ujaran yang digunakan untuk menyampaikan pesan itu disebut pesan. Dalam ini pesan tidak lain penbawa gagasan yang disampaikan pengirim kepada penerima. Setiap proses komunikasi bahasa dimulai dengan si pengirim merimuskan terlebih dahulu yang ingin diujarkan dalam suatu kerangka gagasan. Proses ini dikenal sebagai istilah semantik encoding.
Ada dua macam komunikasi bahasa, yaitu komunikasi searah dan komunikasi dua arah. Dalam komunikasi searah, si pengirim tetap sebagai pengirim, dan si penerima tetap sebagai penerima. Misalnya, dealam komunikasi yang bersifat memberitahukan, khotbah di mesjid atau gereja, ceramah yang tidak diikuti Tanya jawab. Dalam komunikasi dua arah, secara berganti-ganti si pengirim bisa menjadi penerima, dan penerima menjadi pangirim.
Komunikasi dua arah ini terjadi dalam rapat, perundingan, diskusi dan sebagainya. Sebagai alat komunikasi, bahasa itu terdiri dari dua aspek yaitu: Aspek linguistik, Aspek nonlinguistik atau paralinguistic.
Kedua aspek itu bekerjasama dalam membangun komunikasi bahasa.
Aspek linguistik mencakup tataran fonologis, morfologis, dan sintaksis. Ketiga tataran ini mendukung terbentuknya yang akan disampaikan, yaitu semantik.
Aspek paralinguistik mencakup:
Kualitas ujaran, yaitu pola ujaran seseorang seperti falsetto, staccato, dan sebagainya. Unsur supra segmental, yaitu tekanan, nada, dan intonasi. Jarak dan gerak-gerik tubuh, seperti gerakan tangan,anggukan kepala, dan sebagainya.
Rabaan, yakni yang berkenaan dengan indera perasa. Aspek linguistik dan paralinguistik berfungsi sebagai alat komunikasi, bersama-sama dengan konteks situasi membentuk atau membangun situasi tertentu dalam proses komunikasi.
C. Pengaruh bahasa dalam Ragam kelas Sosial
Perkembangan bahasa yang searah dengan perkembangan kehidupan manusia di abad modern menunjukkan fenomena yang berubah-ubah antara lain dengan penggunaan bahasa sebagai alat pergaulan tertentu yang dikenal dengan variasi bahasa seperti jargon dan argot.
Jargon. Kemungkinan makna asalnya yaitu bunyi “echo” dan merupakan istilah umum yang seringkali mengacu kepada bahasa asing pedalaman yang bermacam-macam. Hal itu dapat ditemukan dalam ucapan yang dirasakan sebagai merepet atau ucapan-ucapan kosong, slang, bahasa pidgin atau bahasa khas dalam perdagangan, profesi atau kelompok lainnya.
Namun demikian, istilah ini juga sering dihubungkaitkan dengan ilmu tertentu seperti hukum dan perundang-undangan, kedokteran dan ilmu pengetahuan yang merupakan jargon teknis maupun jargon saintifik. Bagi kelompok yang tidak professional maupun tidak berprofesi, penggunaan bahasanya dinilai penuh dengan istilah maupun kalimat yang tidak seperti bahasa umumnya sehingga sulit dipahami oleh orang kebanyakan. Namun bagi anggota kelompok professional tersebut, penggunaan istilah itu sangat akrab dan mencapai matlamat yang sesungguhnya.
Problematika Paragmatik Sosiolinguistik
Dalam bukunya tersebut, Schiffrin membahas konteks dalam kaitannya dengan berbagai teori, yaitu teori tindak tutur, pragmatik, sosiolinguistik interaksional, dan etnografi komunikasi. Teori tindak tutur dan pragmatik memandang konteks sebagai pengetahuan, sedangkan sosiolinguistik interaksional dan etnografi komunikasi memandang konteks sebagai situasi dan pengetahuan ihwal bentuk-bentuk umum situasi. Yule membahas konteks dalam kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi referen-referan yang bergantung pada satu atau lebih pemahaman orang itu terhadap ekspresi yang diacu. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, Yule membedakan konteks dan koteks. Konteks ia definisikan sebagai lingkungan fisik dimana sebuah kata dipergunakan. Koteks menurut Yule adalah bahan linguistik yang membantu memahami sebuah ekspresi atau ungkapan. Koteks adalah bagian linguistik dalam lingkungan tempat sebuah ekspresi dipergunakan.
Mey berpendapat bahwa konteks itu penting dalam pembahasan ketaksaan bahasa lisan atau tulis. Mey mendefiniskan konteks sebagai konsep dinamis dan bukan konsep statis, yang harus dipahami sebagai lingkungan yang senantiasa berubah, dalam arti luas yang memungkinkan partisipan berinteraksi dalam proses komunikasi dan ekspresi linguistik dari interaksi mereka yang dapat dimengerti. Konteks berorientasi pada pengguna sehingga konteks dapat disangka berbeda dari satu pengguna ke pengguna lain, dari satu kelompok pengguna ke kelompok pengguna lain, dan dari satu bahasa ke bahasa lain. Mey menambahkan konteks lebih dari sekedar referen namun sebuah perbuatan/tindakan. Konteks adalah perihal pemahaman untuk apakah sesuatu itu. Konteks juga memberikan arti pragmatik yang sebenarnya dan membolehkan arti pragmatik yang sebenarnya menjadi tindak pragmatik yang sebenarnya. Konteks menjadi lebih penting tidak hanya untuk menilai referen dan implikatur yang pantas, tetapi juga dalam hubungan dengan isu pragmatik lainnya seperti tindak pragmatik dan praanggapan. Ciri konteks lain adalah fenomena register. Dengan register, petutur memahami bentuk-bentuk linguistik yang dipergunakan penutur untuk menandai sikap mereka terhadap mitra wicaranya. Yan Huang membicarakan konteks dalam kaitannya dengan nosi dasar semantik dan pragmatik. Menurut Huang, konteks dipergunakan secara luas dalam kepustakaan linguistik, namun sulit untuk memberikan definisi yang tepat. Konteks dalam arti luas mungkin diartikan sebagai pengacuan terhadap ciri-ciri yang relevan dari latar yang dinamis atau dalam lingkungan tempat unit linguistik dipergunakan secara sistematis. Selanjutnya, konteks disusun atas tiga jenis, yaitu konteks fisik, konteks linguistik, dan konteks pengetahuan umum. Konteks fisik mengacu pada latar fisik sebuah tuturan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar