Kamis, 09 Juni 2011

Artikel Angkatan karya sastra Andi

Perbedaan Karakteristik Angkatan Karya Sastra Setiap Periode
Oleh : Andi Syahputra Harahap
Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.
Ciri-ciri Angkatan Balai Pustaka (20-an)
1. Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dlll.
2. Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan
3. Gaya bahasanya masih menggunakan perumpamaan yang klise, pepatah, peribahasa, tapi menggunakan bahasa percakapan sehari-hari lain dengan bahasa hikayat sastra lama
4. Puisinya berupa syair dan pantun
5. Isi karya sastranya bersifat didaktis
6. Alirannya bercorak romantik
Karya Angkatan Balai Pustaka/Dekade 20-an, tokoh-tokohnya:
a. Marah Rusli dengan karyanya roman “Siti Nurbaya”.
b. Muhammad Yamin dengan karyanya kumpulan puisi “Tanah Air”,
e. Abdul Muis dengan karyanya roman “Salah Asuhan”.
d. Rustam Efendi dengan karyanya kumpulan puisi “Percikan Permenungan”.
e. Nur Sutan Iskandar dengan karyanya roman “Katak Hendak Jadi Lembu”.


Pujangga Baru
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.
Ciri-ciri Angkatan Pujangga Baru (30-an)
1. Menggambarkan pertentangan kehidupan orang-orang kota, soal emansipasi wanita
2. Hasil karyanya mulai bercorak kebangsaan; memuat soal kebangunan bangsa
3. Gaya bahasanya sudah tidak menggunakan perumpamaan klise, pepatah, peribahasa
4. Puisinya bukan pantun lagi, muncul bentuk soneta dari Barat
5. Isinya masih mirip dengan Angkatan 20-an (tendensius dan didaktis)
6. Masih bercorak romantik
Karya Angkatan Pujangga Baru/Dekade 30-an dengan tokoh-tokohnya:
a. Sutan Takdir Alisyahbana dengan karyanya roman “Layar Terkembang” dan
kumpulan puisi “Tebaran Mega”.
b. Amir Hamzah dengan karyanya kumpulan puisi “Buah Rindu” dan “Nyanyi Sunyi”.
e. Armijn Pane dengan karyanya roman “Belenggu”.
d. Sanusi Pane dengan kumpulan puisinya “Madah Kelana” dan drama “Manusia
Baru”
e. Y.E. Tatengkeng dengan kumpulan puisinya “Rindu Dendam”.
f. HAMKA dengan romannya “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”.


Angkatan 1945
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani.
Ciri-ciri Angkatan 45
1. Puisi-puisinya bercorak bebas, tidak terikat pembagian bait, baris, atau rima
2. Lebih bergaya ekspresionisme dan beraliran realisme
3. Bahasanya menggunakan bahasa sehari-hari, lebih mementingkan isi daripada bentuk
4. Puisinya berisi tentang individualisme dan prosanya mengemukakan masalah kemasyarakatan sehari-hari terutama dengan latar perang kemerdekaan
5. Karya sastranya lebih banyak mengemukakan masalah kemanusiaan yang universal
6. Filsafat eksistensialisme mulai dikenal
Karya Angkatan ‘45 dengan tokoh-tokohnya:
a. Chairil Anwar dengan kumpulan puisinya “Deru Campur Debu”.
b. Usmar Ismail dengan dramanya “Citra”
e. El Hakim dengan dramanya “Taufan di Atas Asia”.
d. Achdiat Kartamihardja dengan romannya “Atheis”.
e. Pramudya Ananta Toer dengan romannya “Percikan Revolusi”
Di era sekarang Pramudya terkenal dengan caturlogi roman Pulau Buru.
Angkatan 1950
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.
Ciri-ciri angkatan 50 antara lain,
1. gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembangnya puisi cerita dan balada, dengan gaya yang sederhana dari puisi liri,
2. gaya mantra mulai tampak dalam balada-balada,
3. gaya ulangan mulai berkembang,
4. gaya puisi liris pada umumnya masih meneruskan gaya angkatan 45,
5. gaya slogan dan retorik.
Karya Dekade 50-an dengan tokoh-tokohnya antara lain:
1. Ayip Rosidi dengan novelnya “Sebuah Rumah Buat Hari Tua”.
2. Motinggo Boesye dengan dramanya “Malam Jahannam”.
3. Nh. Dini dengah novelnya “Hati yang Damai”.
4. Rendra dengan kumpulan puisinya “Balada Orang-orang Tercinta”.
Penyair ini masih kreatif sampai sekarang.
5. Mochtar Lubis dengan novelnya “Jalan Tak Ada Ujung”.
Angkatan 1966
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis.[3] Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini.
Ciri-ciri Angkatan 66
1. Mulai dikenal gaya epik (bercerita) pada puisi (muncul puisi-puisi balada)
2. Puisinya menggambarkan kemuraman (batin) hidup yang menderita
3. Prosanya menggambarkan masalah kemasyarakatan, misalnya tentang perekonomian yang buruk, pengangguran, dan kemiskinan
4. Cerita dengan latar perang dalam prosa mulai berkurang, dan pertentangan dalam politik pemerintahan lebih banyak mengemuka
5. Banyak terdapat penggunaan gaya retorik dan slogan dalam puisi
6. Muncul puisi mantra dan prosa surealisme (absurd) pada awal tahun 1970-an yang banyak berisi tentang kritik sosial dan kesewenang-wenangan terhadap kaum lemah
Karya Angkatan ‘66 dengan tokoh-tokohnya antara lain:
1. Taufiq Ismail dengan kumpulan puisinya “Tirani” dan “Benteng”.
2. Sapardi Joko Damono dengan kumpulan puisinya “Duka-Mu Abadi”.
3. Hartoyo Andangjaya dengan kumpulan puisinya “Buku Puisi”.
4. Bur Rasuanto dengan kumpulan puisinya “Mereka Telah Bangkit”.
5. Ramadhan KH dengan novelnya “Royan Revolusi” dan kumpulan puisi “Priangan
Si Jelita”.
Angkatan 1970
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1970, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.





Ciri-ciri angkatan 70 adalah
1. puisi bergaya mantra,
2. digunakan bahasa daerah secara menyolok,
3. dipergunakan asosiasi-asosiasi bunyi untuk mendapatkan gaya baru,
4. puisi-puisi imajisme menggunakan teknik tak langsung berupa gambaran-gambaran dengan lukisan-lukisan atau cerita kiasan,
5. gaya penulisan yang prosais dan berhubungan dengan gaya pisis imajisme,
6. puisi lugu, memepergunakan teknik pengungkapan ide secara polos dengan kata-kata serebral.
Karya Angkatan 70-an dengan tokoh-tokohnya antara lain:
1. Sutardji Calzoum Bachri dengan kumpulan puisinya ”O Amuk Kapak”.
2. Iwan Simatupang dengan novelnya “Ziarah”.
3. Danarto dengan kumpulan cerpennya “Godlob”.
4. Y.B. Mangunwijaya dengan novelnya “Burung-burung Manyar”.
5. Putu Wijaya dengan novelnya ”Telegram”, dan drama “Dag Dig Dug”.
6. Kuntowijoyo dengan novelnya “Khotbah di Atas Bukit”
7. Yudhistira Ardi Noegraha dengan novelnya “Mencoba Tidak Menyerah”.
8. Arifin C. Noer dengan dramanya “Mega-Mega”.
9. Umar Kayam dengan novelnya “Para Priyayi”.
10. Ahmad Tohari dengan trilogi novel “Ronggeng Dukuh Paruk”.
Angkatan 2000-an
Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya "Sastrawan Angkatan 2000". Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002.

Karya Angkatan 2000 dengan tokohnya antara lain:
1. Emha Ainun Najib dengan kumpulan puisinya “Sesobek Buku Harian Indonesia”
dan drama “Lautan Jilbab”.
2. Seno Gumira Ajidarma dengan kumpulan cerpennya “Iblis Tidak Pernah Mati”.
3. Ayu Utami dengan novelnya “Saman” dan “Larung”
4. Jenar Mahesa Ayu dengan kumpulan cerpennya “Mereka Bilang Saya Monyet”.
5. N. Riantiarno dengan dramanya “Opera Kecoa” dan “Republik Bagong”:.
6. Yanusa Nugraha dengan kumpulan cerpennya “Segulung Cerita Tua” .
7. Afrizal Malna dengan kumpulan puisinya “Abad yang Berlari”.
8. Ahmadun Y. Herfanda dengan kumpulan puisinya “Sembahyang Rumputan”.
9. D. Zawawi Imron dengan kumpulan puisinya “Bantalku Ombak, Selimutku Angin”.
10. K.H. Ahmad Mustofa Bisri dengan kumpulan puisinya “Ohoi Puisi-puisi Balsem” dan “Gandrung”.

Artikel psikolinguistik Andi

Psikolinguistik Menurut Jenis dan Cakupannya
Oleh : Andi Syahputra Harahap
PENGERTIAN DASAR PSIKOLINGUISTIK
Psikolinguistik adalah suatu studi mengenai penggunaan bahasa dan perolehan bahasa oleh manusia. Dari defenisi ini terlihat ada dua aspek yang berbeda, yaitu pertama perolehan yang menyangkut bagaimana seseorang, terutama anak-anak belajar bahasa dan kedua penggunaan yang artinya penggunaan bahasa oleh orang dewasa normal. Psikolinguistik membagi ke dalam tiga bidang utama sebagai berikut:
Psikolinguistik umum adalah suatu studi mengenai bagaimana pengamatan atau persepsi orang dewasa tentang bahasa dan bagaimana ia memproduksi bahasa. selain itu, juga mempelajari mengenai proses kognitif yang mendasarinya pada waktu seseorang menggunakan bahasa. ada dua cara dalam persepsi dan produksi bahasa ini, yaitu secara auditif dan visual. Persepsi bahasa secara auditif adalah mendengarkan dan persepsi bahasa secara visual adalah membaca.
1. Aliran Idealisme
Salah seorang tokoh aliran idealisme yang terkenal adalah Humbold. Ia sangat menaruh perhatian pada buku “Volker Psychologie” terutama mengenai aspek antropologi dan linguistiknya, dan mencoba membuat suatu teori tentang bahasa dan aspek-aspeknya.
2. Aliran Empirisme
Karya dibidang linguistik yang bersifat empiris yang pertama adalah dari Jacob Grimm, seorang linguis yang bekerja di Jerman pada permulaan abad ke-19. ia mempunyai pandangan yang empiristik dan tertarik pada segi fonologi.
W. Wundt
Mengenai inner language form, wundt membedakan secara jelas dua aspek sebagai berikut:
a. Aspek Linguistik (morfologi dan sintaksis)
b. Aspek dasar (aspek yang mendaari aspek linguistik)
Ferdinand De Soussure
Ferdinand de soussure adalah tokoh yang paling penting dalam linguistik. Dia adalah seorang pengajar pada Universitas Leipzig. Seorang linguistik yang memperkenalkan gagasan-gagasan yang masih dianggap penting dewasa ini.

C. TRADISI EROPA
Menjelang Perang Dunia II, kira-kira tahun 1938, psikologuistik menghilang dari percaturan ilmu di Eropa.
D. ALIRAN BEHAVIORISM
1. Linguistik di Amerika
Pada tahun 1933 Bloomfield mengarang buku baru yang berjudul ‘Language’. Meskipun setuju dengan pentingnya penggunaan teori S-R (Stimulus response) untuk menjelaskan tingkah laku manusia, namun ia tidak mempergunakan dasar-dasar prikologi bahasa menurut teori S-R dalam membahas bahasa.
2. Psikologi di Amerika
Watson, Wiss dan C. Norris (murid Pierce) adalah tokoh behaviorist di Amerika yang besar pengaruhnya terhadap C. Hull, seorang pencetus teori mediasi (Mediational Theory). C. Osgood, seorang murid Hull telah meluaskan teori mediasi dari Hull dalam usahanya untuk menjelaskan gejala bahasa.
E. AETIFICIAL INTELLIGENCE
Artificial intelligence adalah bagian dari ilmu komputer yang telah berkembang sejak tahun 50-an.
F. COMPETENCE DAN PERFORMANCE
Noom – Chomsky telah membedakan antara competence dengan performance. Competence adalah kapasitas kreatif dari pemakaian bahasa. Sedangkan yang dimaksud dengan performance adalah penggunaan bahasa secara aktual yang meliputi mendengarkan, berbicara, berpikir dan menulis.
G. STRUKTUR, FUNGSI DAN PROSES
1. Struktur Bahasa
Struktur bahasa adalah suatu sistem dimana unsur-unsur bahasa diatur dan dihubungkan satu dengan yang lain (Bloom dan Lahey, 1978, hlm. 132).
2. Fungsi Bahasa
Fungsi bahasa adalah alasan-alasan mengenai seorang berbicara. Ada dua macam fungsi bahasa yaitu:
a. Fungsi bahasa yang bersifat intrapersonal (mathetik)
b. Fungsi bahasa yang bersifat interpersonal (progmatik),
3. Proses Bahasa
Proses bahasa adalah suatu deskripsi tentang alat-alat, materi dan prosedur yang ada dalam mental kita yang dipergunakan manusia untuk memproduksi dan mengerti bahasa.
H. STRUKTUR BAHASA
Struktur bahasa menyangkut beberapa bidang yaitu : bidang semantik, bidang sintaksis, bidang morfologi dan bidang fonologi.
1. Bidang Semantik
Semantik adalah studi mengenai “arti” suatu perkataan atau kalimat.
2. Bidang Sintaksis
Sintaksis adalah bagian dari tata basa yang mempelajari dasar-dasar dan proses – proses pembentukan kalimat dalam suatu bahasa (Gorys keraf, 1982).
3. Bidang Morfologi
Morfologi ialah ilmu yang membicarakan morfem serta bagaimana morfem itu dibentuk menjadi kata (Yus Badudu, 1976).
4. Bidang Fonologi
Fonologi merupakan salah satu bagian dari tata bahasa, yaitu bagian yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa pada umumnya (G. keraf)

PSIKOLINGUISTIK UMUM

Pada Bab II ini, kita akan membahas fungsi bahasa dan proses berbahasa pada orang dewasa, yang merupakan bagian dari psikolinguistik Umum karena menyangkut persepsi orang dewasa tentang bahasa dan bagaimana ia memproduksi bahasa.
A. FUNGSI BAHASA
Untuk menjelaskan hal itu, perlu dijelaskan terlebih dahulu tiga aspek penting dari fungsi bahasa, yakni:
• Speech Act
• Propositional Content
• Thematic Structure
1. Speech Act
Pada waktu seseorang berbicara, ia sebenarnya memperlihatkan suatu speech act tertentu yang dapat berupa action meminta, meyakinkan, berjanji, menyuruh dan lain-lainnya.
2. Propositional Content
Thematic Structure adalah penilaian tentang keadaan mental (mental state) pendengar pada saat seseorang berbicara.
3. Thematic Structure
Kalimat itu mempunyai fungsi memperinci ide-ide yang menjadi kerangka speech act. Ide-ide ini sering pula disebut sebagai ideational content dari sebuah kalimat atau dalam ilmu psikolinguistik disebut propositional content).
B. PROSES BERBAHASA
1. Mengenal bunyi-bunyi (the speech recognizer)
Sistem ini berfungsi untuk mengenal bunyi-bunyi yang diucapkan manusia sebagai suatu bahasa tertentu.
2. Analisis Kalimat atau parser
Fungsi analisis kalimat adalah untuk menganalisis struktur kalimat. Dalam hal ini ia harus mendeteksi bagaimana haisl roses kerjasama antara tiga sistem dalam CPU (Central processing Unit).
3. Sistem Konseptual (The Conceptual System)
Sistem konseptual merupakan inti dari penggunaan bahasa oleh manusia, oleh karena proses berpikir yang mendasari tingkah laku manusia seperti problem solving (pemecahan masalah), membuat keputusan (decision making), penggunaan bahasa dan lain-lain terdapat dalam sistem konseptual.
4. Generator Kalimat (The sentence Generator)
Sesudah struktur konseptual terbentuk pada seseorang, kini tinggal bagaimana mengekspresikan nya ke dalam bahasa ucapan. Tugas ini menjadi tanggungjawab generator kalimat.
5. Artikulator
Sistem ini berfungsi untuk mengucapkan kata-kata. Artikulatorbertugas menyampaikan susunan yang dibentuk oleh generator kalimat kepada bagian artikulais.
6. Leksikon
Lesikon mental meliputi semua pengetahuan yang dipunyai pemakai bahasa, yang berhubungan dengan akta-kata dalam khasanah perbendaharaan kata atau dengan akta lain arti akta-kata, ciri-ciri morfologi, ciri-ciri sintaksis, cara mengucapan, cara mengeja (Kempen, 1981, hlm. 16).

PSIKOLINGUISTIK PERKEMBANGAN

A. PERKEMBANGAN FONOLOGI
Bayi yang berumur 3 hingga 4 bulan mulai memproduksi bunyi-bunyian. Pada usia antara 5 dan 6 bulan ia mulai mengoceh.
Pada pertengahan tahun pertama, anak-anak mulai membedakan bunyi-bunyi (Ervin Tripo, 1970) dan selanjutnya dikatakan bahwa persepsi (speech perception) kelihatannya tergantung pada interaksi anak dengan lingkungannya.

B. PERKEMBANGAN SEMANTIK
Dalam usahanya ini, mereka mulai dengan dua asumsi mengenai fungsi dan isi dari suatu bahasa, yaitu:
(1) Bahasa dipergunakan untuk komunikasi
(2) Bahasa mempunyai arti dalam suatu konteks tertentu
C. PERKEMBANGAN SINTAKSIS
Dalam perkembangan sintaksis bahasa Inggris, urutan kata penting karang mula-mula belum ada infleksi, sehingga si anak dalam struktur sintaksisnya bersandar pada urutan kata. Demikian juga dalam bahasa Rusia dan Jerman, sedangkan di Indonesia belum diketahui.
D. PERKEMBANGAN MORFOLOGI
Menurut Schaerlaekens (1977), diferensiasi morfologi itu meliputi tiga hal penting yaitu
• Pembentukan aktajamak
• Pembentukan diminutiesuffix (verkleinwood).
jurkje (rok anak)Contoh: jurk (rok orang dewasa)
• Perubahan kata kerja
Dalam Bahasa Indonesia, belum diketahui bagaimana perkembangan morfologi pada bahasa anak karena belum ada penelitian di bidang s tersebut.
E. PERKEMBANGAN KONSEPTUAL
Secara garis besar, hal-hal yang perlu dan harus dipelajari seorang anak sebelum ia dapat mengucapkan kalimat adalah:
• Kata benda (nama benda) dan Konsistensi obyek
• Kejadian-kejadian (events)
• Skema aksi (action schemes)
• Kausalitas
Setelah seorang anak mengerti keempat hal terebut diatas berarti ia siap untuk mengaktifkan atau mengekspresikan skema aksi yang ada dalam alam pikirannya disampaikan melalui kalimat-kalimat.
1. Konseptualisasi
2. Psikologi kognitif
3. Psikologi kognitif
F. PERKEMBANGAN BAHASA ANAK
Sejarah studi bahasa anak dibagi dalam dua periode, yaitu periode sebelum tahun 1960 dan sesudah 1960.
1. Studi Sebelum Tahun 1960
2. Studi Sesudah Tahun 1960
G. TUTURAN ANAK (CHILD SPEECH) MEKANISME PEROLEHAN BAHASA PADA ANAK-ANAK
1. Stage I
Tuturan anak pada stage I terdiri dari kalimat telegram dan pivot open grammar.
a. Kalimat telegram 9telegraphic speech)
Bown dan fraser (1963) mengungkapkan bahwa tuturan anak apa stage I, awalnya sangat mirip dengan kalimat telegram. Artinya, anak memformulasikan pesan (message) dengan car yang sependek mungkin seperti halnya orang dewasa mengirim telegram.
b. Privot Open Grammar
Mengenai Pivot pen Grammar telah dibahas pada bab II
2. Stage II
Tuturan anak pada stage II ini tertutup meliputi penguasaan penggunaan morfem imbuhan.
H. MEKANISME PEROLEHAN BAHASA PADA ANAK – ANAK
Dalam sejarah perkembangannya teori-teori psikolinguistik tentang perolehan bahasa pada anak-anak mulai meninggalkan kedua pendekatan tersebut secara murni dan menemukan suatu model baru dalam pendekatan yang lebih mempersoalkan bahasa dari segi prosesnya tanpa mengabaikan segi-segi posipositifnya.
3. Pandangan empiris yang murni / ekstrim
Inti pandangan empiris yang murni ini ialah language is a function of reinforcement. Orang tua mengajar anaknya berbicara dengan memberikan reinforcement (penguatan) terhadap tingkah laku verbal.
4. Pandangan aliran rasionalis murni / ekstrim
Dari sudut pandang aliran nasionalis, bahasa adalah suatu kemampuan yang khas dipunyai manusia. Selain itu, Chomsky dan kawan-kawan menganggap perolehan bahasa tidak diperoleh dengan cara induksi seperti diterangkan oleh aliran empiris, melainkan karena manusia secara biologis memang sudah diprogramkan (prepgrammed) untuk memperoleh bahasa.
5. Model Proses Atau Analisis Strategi (Strategy Analysis)
Pandangan yang terbaru mengenai perbedaan bahasa pada anak-anak ialah pandangan yang disebut model proses (process models) atau analisis strategi (strategy analysis).

I. PENGUKURAN KEMAMPUAN BAHASA PADA ANAK-ANAK
Ada beberapa macam tes untuk mengukur kemampuan berbahasa pada anak-anak. Pengukuran kemampuan berbahasa dan perkembangannya paling sedikit mempunyai tiga fungsi

PSIKOLINGUISTIK TERAPAN

Psikolinguistik terapan adalah aplikasi teori-teori linguistik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bab ini akan dibahas beberapa bidang terapan yang dianggap penting, yaitu yang menyangkut hal membaca, patologi bahasa, kedwibahasaan dan pengajaran bahasa asing.
A. Hal Membaca
Membaca adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan kita dewasa ini. Usaha disamping membaca dianggap penting untuk komunikasi, juga karena membaca berkaitan erat dengan menulis.
1. Membaca Untuk Mengerti Bunyi
Dalam initial reading, seorang anak harus belajar mengenal fenom kemudian menggabungkan (blending) beberapa fonem menjadi suatu suku kata atau kata
2. Membaca Untuk Mengerti Arti (Advanced Reading)
Apabila dalam suatu bahasa, penguapannya mendekati pengerjaannya (apabila bahasa itu mempunyai pengucapan fonem tetap), maka sistem alphabetic dapat digunakan, tetapi bilamana ada perbedaan antara pengucapan dan pengerjaan, maka sistem logographic sesuai untuk dipakai.
3. Dyslexia
Dyslexia adalah kesukaran dalam membaca yang tidak didasari oleh gangguan neurologis, tidak ada bukti tentang adanya kerusakan otak atau gangguan organis lainnya.
4. Aphasia
Untuk pertama kalinya, aphasia dikenal sebagai penyakit yang terpisah pada tahun 1961, oleh seorang ahli saraf (neurology) Perancis bernama Broca.
5. Bahasa Orang Tunarugu
Kesukaran pada anak-anak atau orang-orang tunarungu ialah mereka tidak dapat mendengar suara yang mereka produksi untuk mendapatkan umpan balik.
6. Beberapa Cara Mengukur Kedwibahasaan
W.E. Lambert telah mengemabngkan suatu alat untuk mengukur kedwibahasaan dengan mencatat hal-hal berikut.
• Waktu reaksi seseorang terhadap dua bahasa.
• Kecepatan reaksi dapat diukur pula dari bagaimana seseorang melaksanakan perintah-perintah yang diberikan dalam bahasa yang berbeda.
• Kemampuan seseorang melengkapkan suatu perkataan
• Mengukur kecenderungan (preferences) pengucapan secara spontan.
7. Hubungan Antara Kewibahasaan Dengan Intelingensi
Studi dari lambert telah mengontrol faktor sosial ekonomi, mendapatkan hasil yang sebaliknya dimana anak-anak dwibahasa dalam hal IQ sedikit lebih tinggi dari pada anak ke bahasa.
8. Hubungan antara kedwibahasaan dengan fungsi kognitif
Dikatakan bahwa anak dwibahasa memperoleh ‘flexibility set’ yang berguna dalam tugas-tugas berpikir yang berbeda, dimana dituntut adanya originalitas dan daya temu (inventiveness), yang berarti kedwibahasan mempunyai efek positif terhadap fungsi kognitif.
B. PENGAJARAN BAHASA ASING
Dipertanyakan apakah ada kesamaan dalam hal seseorang anak belajar bahasa pertamanya (bahasa ibu) dengan orang dewasa atau anak belajar bahasa asing. dalam kenyataannya, ternyata sukar untuk mencari pararelitas antara keduanya dan yang nampak justru lebih banyak perbedaannya dari pada kesamaannya.
C. METODA MENGAJAR BAHASA ASING
Ada tiga metode umum yang telah dipergunakan dalam pengajaran bahasa, yaitu
a. Metoda Grammar Translation
b. Metoda adiolingual
c. Metoda code learning

Artikel Andi Harahap

PENDEKATAN KOMUNIKATIF DALAM PEMBELAJARAN BAHASA KOMUNIKATIF
Oleh : Andi Syahputra Harahap
Pengertian Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang berlandaskan pada
pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Di dalam konsep pendekatan komunikatif terdapat konsep kompetensi komunikatif yang membedakan komponen bahasa menjadi dua bagian, yaitu kompetensi dan performansi atau unjuk kerja.
Kompetensi komunikatif itu adalah keterkaitan dan interelasi antara kompetensi gramatikal atau pengetahuan kaidah-kaidah bahasa dengan kompetensi sosiolinguistik atau atauran-aturan tentang penggunaan bahasa yang sesuai dengan kultur masyarakat. Kompetensi komunikatif hendaknya dibedakan dengan performansi komunikatif karena performansi komunikatif mengacu pada realisasi kompetensi kebahasaan beserta interaksinya dalam pemroduksian secara aktual dengan pemahaman terhadap tuturan-tuturan. Oleh sebab itu, seseorang yang dikatakan memiliki kompetensi dan performansi berbahasa yang baik hendaknya mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang dipelajarinya, baik dalam pemroduksian (berbicara dan menulis/mengarang) maupun dalam pemahaman (membaca dan menyimak/mendengarkan).
Ciri-ciri Pendekatan Pembelajaran Komunikatif
Brumfit dan Finocchiaro mengungkapkan ciri-ciri pendekatan komunikatif adalah (1) makna merupakan yang terpenting, (2) percakapan harus berpusat di sekitar fungsi komunikatif dan tidak dihafalkan secara normal, (3) kontekstualisasi merupakan premis pertama, (4) belajar bahasa berarti belajar berkomunikasi, (5) komunikasi efektif dianjurkan, (6) latihan penubihan atau drill diperbolehkan, tetapi tidak memberatkan, (7) ucapan yang dapat dipahami diutamakan, (8) setiap alat bantu peserta didik diterima dengan baik, (9) segala upaya untuk berkomunikasi dapat didorong sejak awal, (10) penggunaan bahasa secara bijaksana dapat diterima bila memang layak, (11) terjemahan digunakan jika diperlukan peserta didik, (12) membaca dan menulis dapat dimulai sejak awal, (13) sistem bahasa dipelajari melalui kegiatan berkomunikasi, (14) komunikasi komunikatif merupakan tujuan, (15) variasi linguistic merupakan konsep inti dalam materi dan metodologi, (16) urutan ditentukan berdasarkan pertimbangan isi, fungsi, atau makna untuk memperkuat minat belajar, (17) guru mendorong peserta didik agar dapat bekerja sama dengan menggunakan bahasa itu, (18) bahasa diciptakan oleh peserta didik melalui mencoba dan mencoba, (19) kefasihan dan bahasa yang berterim merupakan tujuan utama, ketepatan dinilai dalam konteks bukan dalam keabstrakan, (20) peserta didik diharapkan berinteraksi dengan orang lain melalui kelompok atau pasangan, lisan dan tulis, (21) guru tidak bisa meramal bahasa apa yang akan digunakan peserta didiknya, dan (22) motivasi intrinsik akan timbul melalui minat terhadap hal-hal yang dikomunikasikan.
Peran Peserta Didik, Guru dan Materi Pembelajaran dalam Proses Belajar Mengajar
Peran Peserta Didik dalam Proses Belajar-Mengajar
Robin dan Thompson 1) mengemukakan bahwa ciri-ciri peserta didik yang sesuai dengan konsep pendekatan komunikatif adalah: (1) selalu berkeinginan untuk menafsirkan tuturan secara tepat, (2) berkeinginan agar bahasa yang digunakan selalu komunikatif, (3) tidak merasa malu jika berbuat kesalahan dalam berkomunikasi, (4) selalu menyesuaikan bentuk dan makna dalam berkomunikasi, (5) frekuensi latihan berbahasa lebih tinggi, dan (6) selalu memantau ujaran sendiri dan ujaran mitra bicaranya untuk mengetahui apakah pola-pola bahasa yang diucapkan tersebut dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat.
Peran Guru dalam Proses Belajar-Mengajar
Dua peran guru dalam proses belajar-mengajar, yaitu (1) pemberi kemudahan dalam proses komunikasi antara semua peserta didik dalam kelas, antara peserta didik dengan kegiatan pembelajaran, serta teks atau materi, dan (2) sebagai partisipan mandiri dalam kelompok belajar-mengajar.
Implikasi dari kedua peran di atas menimbulkan peran-peran kecil lainnya, yaitu peran sebagai pengorganisasi, pembimbing, peneliti, dan pembelajar dalam proses belajar-mengajar.
Peran Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran dipersiapkan setelah guru mengadakan suatu analisis
kebutuhan peserta didik. Keanekaragaman kebutuhan peserta didik ini ditampung guru dan dipertimbangkan dalam mempersiapkan materi pembelajaran. Implikasi dari keadaan ini adalah aktivitas peserta didik dalam kelas berorientasi pada peserta didik. Kedudukan materi pembelajaran ditekankan pada sesuatu yang menunjang komunikasi peserta didik secara aktif.
Ada tiga jenis materi yang perlu dipertimbangakan, yaitu (1) materi yang berdasarkan teks, (2) materi yang berdasarkan tugas, dan (3) materi yang berdasarkan bahan yang otentik.
4. Metodologi Pembelajaran Bahasa Berdasarkan Pendekatan Komunikatif.

Tarigan mengungkapkan bahwa metode-metode pembelajaran bahasa komunikatif dilandasi oleh teori pembelajaran yang mengacu pada dua prinsip, yaitu (1) prinsip komunikasi, kegiatan-kegiatan yang melibatkan komunikasi nyata mampu mengembangkan proses pembelajaran, (2) prinsip tugas, kegiatan-kegiatan-kegiatan tempat dipakainya bahasa untuk melaksanakan tugas-tugas yang bermakna dapat mengembangkan proses pembelajaran. Berdasarkan prinsip tersebut, materi pembelajaran bahasa hendaknya dapat diterapkan melalui metode permainan, simulasi, bermain peran, dan komunikasi pasangan.
Dengan pendekatan komunikatif diharapkan tujuan pendidikan yakni untuk bisa mengembangkan potensi, memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan yang berguna bagi diri sendiri, masyarakat, bangsa dan Negara dapat tercapai dengan baik dan dengan meningkatkan kepercayaan antara peserta didik dan pendidik merupakan langkah awal untuk membangun komunikasi yang komunikatif.
PENDEKATAN KOMUNIKATIF DALAM PEMBELAJARAN PROSA
Pendidikan sebagai institusi formal merupakan lingkungan yang kondusif dalam menumbuhkembangkan potensi kreatif siswa. Agar dapat tercipta kondisi yang demikian, pelaksanaan proses belajar-mengajar sedapat mungkin dipusatkan pada aktivitas belajar siswa yang secara langsung mengalami keterlibatan internal dan emosional dalam proses belajar-mengajar.
Pengajaran sastra berusaha mendekatkan siswa kepada sastra, berusaha menumbuhkan rasa peka dan rasa cinta kepada sastra sebagai suatu cipta seni. Dengan usaha ini, diharapkan pengajaran sastra dapat membantu menumbuhkan keseimbangan antara perkembangan kejiwaan anak, sehingga terbentuk suatu kebulatan pribadi yang utuh. Rahmanto mengemukakan bahwa “Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu: membantu keterampilan membaca, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak ((1998:16).
Pernyataan di atas sejalan dengan GBPP bahasa Indonesia ada bertuliskan: “Siswa mampu menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan berbahasa”.
Memaknai isi GBPP, cerpen adalah salah satu bentuk sastra yang perlu diapresiasi oleh siswa SMP. Apresiasi cerpen di kalangan terpelajar merupakan suatu yang kehadirannya tidak boleh diabaikan. Hal ini terlihat dalam buku ajar siswa SMP pada standar kompetensi siswa mampu mengapresiasi puisi, cerpen, dan karya sastra Melayu Klasik.
Pendekatan komunikatif perlu dipahami oleh setiap guru bahasa dan sastra Indonesia agar dapat menyusun perencanaan pengajaran, melaksanakan penyajian materi pelajaran, mengevaluasi hasil belajar dan proses pembelajaran dengan baik.
Pendekatan komunikatif dipandang sebagai pendekatan yang unggul dalam pengajaran bahasa. Keunggulan ini antara lain karena berdasarkan pada pandangan ilmu bahasa dan teori belajar bahasa yang mengutamakan pemakaian bahasa sesuai dengan fungsinya. Di samping itu, tujuan pengajaran bahasa dengan pendekatan komunikatif adalah membentuk komunikatif siswa. Artinya, melalui berbagai kegiatan pembelajaran diharapkan siswa menguasai kemampuan berkomunikasi yakni kemampuan menggunakan bentuk-bentuk tuturan sesuai dengan fungsi-fungsi bahasa dalam proses pemahaman maupun penggunaan.
Berdasarkan uraian tersebut, makalah ini akan memfokuskan uraian pada pendekatan komunikatif dengan judul Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Prosa (Cerita).
Hakikat Pendekatan Komunikatif
Munculnya istilah pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa diilhami oleh suatu teori yang memandang bahasa sebagai alat berkomunikasi. Berdasarkan teori tersebut, maka tujuan pembelajaran bahasa dirumuskan sebagai ikhtisar untuk mengembangkan kemampuan yang oleh Hymes (11972) disebut kompetensi komunikatif.
Pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa muncul pada tahun 1970-an sebagai reaksi terhadap empat aliran pembelajaran bahasa yang dianut sebelumnya (grammar translation method, direct method, audiolingual method, dan cognitive learning theory). Keempat metode itu memiliki ciri yang sama iaitu pembelajaran bahasa dalam bidang struktur bahasa yang disebut pembelajaran bahasa struktural atau pembelajaran bahasa yang berdasarkan pendekatan struktural.
Pendekatan struktural menitikberatkan pengajaran bahasa pada pengetahuan tentang kaidah bahasa (tatabahasa) yang biasanya disusun dari struktur yang sederhana ke struktur yang kompleks. Para pembelajar mula-mula diperkenalkan bunyi-bunyi, bnetuk-bentuk kata, struktur kalimat, kemudian makna unsur-unsur tersebut.
Kelemahan pendekatan struktural ialah tidak pernah memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk berlatih menggunakan bahasa dalam situasi komunikasi yang nyata yang sesungguhnya lebih urgen dimiliki oleh para siswa ketimbang pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa.

Kelemahan dari pendekatan struktural itulah mengilhami lahirnya pendekatan komunikatif yang menitikberatkan perhatian pada penggunaan bahasa dalam situasi komunikasi. Pendekatan komunikatif memberikan tekanan pada kebermaknaan dan fungsi bahasa. Dengan kata lain, bahasa untuk tujuan tertentu dalam kegiatan berkomunikasi.
Selanjutnya, untuk memahami hakikat pendekatan komunikatif, menurut Syafi’ie (1998) ada delapan hal yang perlu diperhatikan, iaitu:
Teori Bahasa
Pendekatan komunikatif berdasarkan pada teori bahasa yang menyatakan bahwa pada hakikatnya bahasa itu merupakan suatu sistem untuk mengekspresikan makna. Teori ini lebih memberi tekanan pada dimensi semantik dan komunikatif. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahasa yang berdasarkan pendekatan komunikatif yang perlu ditonjolkan ialah interaksi dan komunikasi bahasa, bukan pengetahuan tentang bahasa.
Teori Belajar
Pembelajar dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas yang bermakna dan dituntut untuk menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Teori belajar yang cocok untuk pendekatan ini ialah teori pemerolehan bahasa kedua secara alami. Teori ini beranggapan bahwa proses belajar bahasa lebih efektif apabila bahasa diajarkan secara informal melalui komunikasi langsung di dalam bahasa yang sedang dipelajari.
Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai berdasarkan pendekatan komunikatif merupakan tujuan yang lebih mencerminkan kebutuhan siswa iaitu kebutuhan berkomunikasi, maka tujuan umum pembelajaran bahasa ialah mengembangkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi (kompetensi dan performansi).
Silabus
Silabus disusun searah dengan tujuan pembelajaran, yang harus dipehatikan ialah kebutuhan para pembelajar. Tujuan-tujuan yang dirumuskan dan materi yang diilih harus sesuai dengan kebutuhan siswa.
Tipe Kegiatan
Tipe kegiatan komunikasi dapat berupa kegiatan tukar informasi, negosiasi makna, atau kegiatan berinteraksi.
Peranan Guru
Guru berperan sebagai fasilitator, konselor, dan manajer proses belajar.
Peranan Siswa
Peranan siswa sebagai pemberi dan penerima, sebagai negosiator dan interaktor. Di samping itu, pelatihan yang langsung dapat mengembangkan kompetensi komunikatif pembelajar. Dengan demikian, siswa tidak hanya menguasai struktur bahasa, tetapi menguasai pula bentuk dan maknanya dalam kaitan dengan konteks pemakaiannya.
Peranan Materi
Materi disusun dan disajikan dalam peranan sebagai pendukung usaha meningkatkan kemahiran berbahasa dalam tindak komunikasi yang nyata. Materi berfungsi sebagai sarana yang sangat penting dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
Prosedur Pembelajaran Komunikatif
Berkenaan dengan prosedur pembelajaran dalam kelas bahasa yang berdasarkan pendekatan komunikatif, Finochiaro dan Brumfit (dalam Azies, 1996), menawarkan garis besar kegiatan pembelajaran untuk tingkat sekolah menengah pertama. Garis besar tersebut sebagai berikut.
Penyajian Dialog Singkat
Penyajian ini didahului dengan pemberian motivasi dengan cara menghubungkan situasi dialog dengan pengalaman pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari.
Pelatihan Lisan Dialog yang Disajikan
Pelatihan ini diawali dengan contoh yang dilakukan oleh guru. Para siswa mengulang contoh lisan gurunya, baik secara bersama-sama, setengah, kelompok kecil, atau secara individu.
Tanya-Jawab
Hal ini dilakukan dua fase. Pertama, tanya-jawab yang berdasarkan topik dan situasi dialog. Kedua, tanya-jawab tentang topik itu dikaitkan dengan pengalaman pribadi siswa.
Pengkajian
Siswa diajak untuk mengkaji salah satu ungkapan yang terdapat dalam dialog. Selanjutnya, para siswa diberi tugas untuk memberikan contoh ungkapan lain yang fungsi komunikatifnya sama.
Penarikan Simpulan
Siswa diarahkan untuk membuat simpulan tentang kaidah tata bahasa yang terkandung dalam dialog.
Aktivitas Interpretatif
Siswa diarahkan untuk menafsirkan beberapa dialog yang dilisankan.
Aktivitas Produksi Lisan
Dimulai dari aktivitas komunikasi terbimbing sampai kepada aktivitas yang bebas.

Evaluasi
Evaluasi atau penilaian dimaksudkan untuk mengetahui apakah program yang bersangkutan telah sesuai dengan perencanaan atau telah mencapai target atau belum. Penilaian dalam pembelajaran sastra ditujukan oleh dua hal yakni, hasil belajar siswa dan proses pembelajaran itu sendiri. Hasil penilaian tersebut bermanfaat bagi siswa untuk mengukur kemajuan belajarnya dan bermanfaat pula bagi guru untuk menemukan kekurangan dan kelebihan yang selanjutnya dijadikan masukan bagi perbaikan bagi kegiatan pembelajaran berikutnya, (Jobrohim, 1994).
Alat penilaian sebenarnya dapat membantu tercapainya tujuan pembelajaran sastra. Hal ini dapat terjadi jika penilaian yang dilakukan lebih ditekankan pada kemampuan apresiasi siswa (secara langsung). Namun dalam kenyataannya di sekolah penilaian hasil belajr sastra lebih menekankan ranah kognitif, ranah psikomotor dan afektif kurang mendapat perhatian. (Jobrohim, 1994).
Berkenaan dengan tes sastra, Moody mengetengahkan adanya empat tingkatan tes sastra, iaitu:
Tingkat Informasi
Merupakan tes yang berkenaan dengan data dasar suatu karya sastra dan data yang menunjang dalam proses penafsiran karya sastra yang bersangkutan, misalnya biografi pengarang.
Tingkat Konsep
Tes ini berkaitan dengan persepsi tentang bagaimana unsur-unsur karya sastra diorganisasikan. Tes ini menuntut kemampuan kognitif siswa yang lebih tinggi tidak hanya tingkat pemahaman, tetapi juga tingkat analisis dan sintesis.
Tingkat Perspektif
Tes ini berkaitan dengan pandangan siswa mengenai karya sastra yang dibacanya. Tes ini pun menuntut kemampuan kognitif siswa pada tingkat tinggi. Kemampuan kognitif yang dituntut adalah tingkat aplikasi, evaluasi, analisis, dan sintesis.

ARTIKEL ANDI

“SELUK-BELUK SOSIOLINGUISTIK”
Oleh: Andi Syahputra Harahap

Problematika KonsepDiglosia
Jika dalam bahasa Indonesia hanya terdapat satu ragam baku, maka dalam bahasa tertentu ditemukan situasi yang berbeda yang di dalamnya terdapat dua ragam baku yang sama-sama diakui dan dihormati. Hal tersebut biasa disebut sebagai diglosia. Diglosia adalah sejenis pembakuan bahasa yang khusus ketika dua ragam bahasa berada berdampingan di dalam keseluruhan masyarakat bahasa dan masing-masing ragam bahasa itu diberi fungsi sosial tertentu.
Pembahasan diglosia berkenaan dengan pemakaian ragam bahasa rendah dan ragam bahasa tinggi dalam suatu kelompok masyarakat. Ciri-ciri situasi diglosia yang paling penting adalah pengkhususan fungsi masing-masing ragam bahasa. Ragam bahasa tinggi khusus digunakan dalam situasi-situasi formal seperti kegiatan keagamaan, pidato-pidato, kuliah, siaran berita, atau pada tajuk rencana dalam surat kabar. Sebaliknya, ragam bahasa rendah biasa digunakan dalam situasi-situasi santai seperti percakapan sehari-hari dalam keluarga, antara teman, cerita bersambung dalam radio, atau dalam sastra rakyat. Dalam situasi diglosia akan kita jumpai adanya tingkat-tingkat bahasa dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura, yang masing-masing mempunyai nama. Dalam masyarakat Sunda dikenal undak usuk basa, di dalamnya terdapat aturan tata bahasa yang mengatur tingkatan ragam bahasa rendah dan ragam bahasa tinggi seperti basa cohag, basa loma, basa sedeng, basa leme. Di Jawa terdapat bahasa ngoko, krama, krama inggil.
Keduanya mempunyai ukuran baku masing-masing dan diakui oleh masyarakat pemakainya. Ragam-ragam tersebut menduduki fungsi sosial, walaupun sekarang fungsi sosial tersebut sulit dicari. Dahulu, ragam bahasa seperti dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa benar-benar digunakan sesuai dengan tingkatan sosial masyarakatnya juga sesuai situasi. Dalam bahasa Jawa misalnya, krama inggil dipakai untuk sastra, sedangkan untuk percakapan sehari-hari menggunakan bahasa ngoko. Begitu juga dalam bahasa Sunda, ketika seorang anak berbicara dengan seorang guru tidak bisa menggunakan bahasa loma, tetapi harus menggunakan bahasa lemes. Namun, sekarang hal tersebut sulit sekali untuk dicari.
Pemakaian suatu ragam dalam bahasa-bahasa daerah itu bukan didasarkakn atas topik pembicaraan, melainkan oleh siapa dan untuk siapa. Dalam masayarakat Bali, terdapat kasta-kasta dalam masyarakatnya, ada suatu aturan pemakaian ragam bahasa. Misalnya, kasta rendah harus menggunakan bahasa rendah untuk sesamanya dan bahasa tinggi untuk kasta yang lebih tinggi. Namun, menurut Fishman dalam Sumarsono, pengertian diglosia seperti telah dibahas di atas merupakan teori yang sudah dianggap klasik. Jika menurut Ferguson, diglosia itu mengacu kepada kondisi ‘dua ragam dalam satu bahasa hidup berdampingan dalam guyup bahasa, dan masing-masing ragam itu mempunyai peran atau fungsi tertentu, maka Fishman mengembangkan gagasan peran atau fungsi itu ke wilayah yang lebih luas. Menurutnya, diglosia adalah obyek sosiolinguistik yang mengacu kepada pendistribusian lebih dari satu ragam bahasa atau bahasa yang mempunyai tugas-tugas komunikasi berbeda dalam suatu masyarakat. Fishman mengacu kepada perbedaan linguistik, bagaimanapun bentuk dan wujudnya, mulai dari perbedaan gaya dalam satu bahasa sampai kepada penggunaan dua bahasa yang sangat berbeda.
Menurut Fishman, yang penting dalam hal ini adalah masing-masing ragam itu mempunyai fungsi yang berbeda dan dalam ranah yang berbeda pula. Dicontohkan Sumarsono, di sebuah kota besar di Indonesia terdapat beberapa suku bangsa dengan bahasa daerah masing-masing di samping bahasa Indonesia. Menurut Sumarsono, fungsi bahasa daerah berbeda dengan bahasa Indonesia dan msing-masing mempunyai ranah yang berbeda pula. Bahasa daerah membangun suasana kekeluargaan, keakraban, kesantaian, dan dipakai dalam ranah kerumahtanggaan, ketetanggaan, dan kekariban, sedangkan bahasa Indonesia membangun suasana formal, resmi, kenasionalan, dan dipakai misalnya dalam ranah persekolahan, ranah kerja, dan dalam ranah keagamaan.
Ancangan Pemilihan Bahasa
Dari kenyataan yang ada baik dalam membimbing bahasa, mendapatkan bimbingan bahasa ataupun meneliti sendiri pada umumnya dasar pijakan awalnya pada ancangan penelitian bahasa. Apapun permasalahan yang akan diungkap selalu diarahkan pada salah satu ancangan. Karena paham positivisme sudah banyak merasuk ke dalam sistem keilmuan di negeri tercinta ini, maka pada umumnya mahasiswa digiring untuk menggunakan ancangan kuantitatif. Keadaan seperti ini masih mendingan, karena masih ada yang kurang memahami ancangan penelitian sehingga apabila dibaca laporannya tidak jelas ancangan apa yang digunakan.
Selain itu, faktor lain yang turut andil dalam ketidakjelasan ancangan penelitian yang digunakan ini adalah faktor kebijakan. Seperti kebijakan akademis yang dikeluarkan jurusan atau fakultas yang meminta “judul penelitian” pada para mahasiswa yang akan menyusun skripsi. Karena pada dasarnya ancangan penelitian ini hanyalah sarana dan dasar pijak penelitian, maka mestinya, bukan judul yang diminta tetapi permasalahan, kerangka berfikir, dan tujuannya. Lebih lengkap lagi jika diminta judul disertai permasalahan, tujuan, manfaat, dan kerangka berfikir.
Secara rasional tentunya harus ditentukan dulu benda yang menjadi perhatian, lalu tujuannya “ingin dapakan atau dibagaimanakan” benda tersebut, manfaatnya untuk apa barulah menentukan alat apa yang akan digunakan untuk memperlakukan benda tersebut agar tujuan bisa tercapai. Dengan kata lain ketepatan ancangan yang digunakan tergantung kepada permasalahan dan tujuan yang hendak dicapai.
Masyarakat Tutur
Tutur merupakan sebuah sistem atau istilah kekerabatan. Sistem atau istilah kekerabatan ini berlaku pada masyarakat Indonesia. Istilah lain dari tutur adalah bentuk sapaan. Bertutur sendiri berarti penggunaan tutur, sistem atau istilah kekerabatan tadi. Namun, dewasa ini, ada semacam gejala kurangnya penggunaan tutur. Dengan kata lain, pengguna tutur sudah mulai meninggalkan pemakaian tutur. Kurangnya penggunaan tutur dalam masyarakat Indonesia, secara umum disebabkan dua faktor. Pertama, faktor internal, yaitu pengguna tutur yang bersangkutan yaitu masyarakat Indonesia sendiri. Tutur tidak diajarkan di dunia pendidikan formal mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Begitu juga secara informal.
Pengguna tutur juga enggan mempelajari tutur. Salah satu akibatnya, tutur jarang digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, lingkungan bertutur tidak akan tercipta baik antar individu, dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Lebih dari itu, tutur tidak dilestarikan, misalnya dalam bentuk pengkajian, penelitian, pensosialisasian dan pendokumentasian.
Kedua, faktor eksternal yaitu pengaruh yang berasal dari luar masyarakat ini. Suku ini merupakan sebuah masyarakat yang terbuka, toleran, dinamis dan akomodatif terhadap perubahan. Dengan begitu, sesuatu yang datang dari luar tadi, memungkinkan perubahan pada mind set, sikap dan tindakan masyarakat Gayo. Beberapa pengaruh dari luar tersebut, misalnya: penggunaan bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa Indonesia kini cukup meluas dalam masyarakat Indonesia.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar dalam komunikasi lebih-lebih di kabupaten induk. Dalam keluarga terutama di empat kecamatan seperti kecamatan Bebesen, kecamatan Kebayakan, kecamatan Lut Tawar dan kecamatan Pegasing, pemakaian bahasa Indonesia kerap dipakai. Heterogenitas budaya juga tercermin di keempat kecamatan di atas.
Kajian Bahasa dalam Kontekstual Sosial
Penelitian bahasa dalam lingkungan sosial telah tumbuh secara signifikan selama empat puluh tahun terakhir, dan sekarang mencakup kebanyakan bahasa dan wilayah di dunia. Sosiolinguistik meneliti hubungan antara bahasa dan masyarakat, antara menggunakan bahasa dan struktur sosial dimana pengguna bahasa hidup.
Sosiolinguis menggunakan berbagai pendekatan yang berbeda dalam mengumpulkan data mereka, tetapi semua mencoba menjawab beberapa bagian dari pertanyaan mendasar: yang berbicara bahasa apa, kepada siapa, kapan, bagaimana, dan mengapa kata pengantar ini membahas pengembangan dan aspek utama sosiolinguistik sebagai suatu disiplin ilmu, dan menempatkan kasus Baltik dalam perspektif komparatif yang lebih luas. Dalam dialog Cratylusnya, Plato membicarakan asal mula kata, dan khususnya soal apakah hubungan kata-kata dengan benda yang dirujuknya adalah alami ataukah hanya merupakan hasil kesepakatan saja. Dialog itu memberikan kepada kita kilasan pertama ke dalam perselisihan yang telah berlangsung satu abad antara kaum Analogis dan Anomalis.
Bagaimanapun sengitnya perdebatan antara dua kubu tersebut, pemikiran-pemikiran yang muncul tentang bahasa menyadarkan kepada para filosof bahwa bentuk-bentuk bahasa berubah dalam perjalanan waktu. Secara perlahan namun pasti, mereka akhirnya menemukan hakikat sejati dari bahasa yang terefleksikan lewat wujud-wujud dan perubahannya. Di bawah ini adalah beberapa hakikat bahasa yang telah ditemukan oleh para filosof. Sebenarnya ada banyak sekali hakikat bahasa yang telah ditemukan, namun penulis membatasinya menjadi lima saja.
a. Bahasa Sebagai Sistem
Hakikat ini sebenarnya telah diyakini oleh pengikut paham anomalis namun hakikat ini menjadi jelas setelah Kaum Sofis pada abad ke-5 merumuskan kesistematisan bahasa secara empirik. Salah satu tokoh dari kaum Sofis adalah Pitagoras. Ia membedakan tipe-tipe kalimat atas: narasi, pertanyaan, jawaban, perintah, laporan, doa dan undangan. Plato juga menegaskan kesistematisan bahasa dengan memberikan perbedaan kata dalam Onoma dan Rhema. Onoma dapat berarti nama atau nomina, dan subyek. Rhema dapat berarti frasa, verba, dan predikat. Onoma dan Rhema merupakan anggota dari logos yang berarti kalimat atau frasa atau klausa.
Ide bahwa bahasa memiliki sistem juga didukung oleh Aristoteles. Sejalan dengan pendahulunya Plato, ia tetap membedakan dua kelas yakni Onoma dan Rhema, tetapi ia menambahkan satu lagi yang disebut Syndesmoi. Syndesmoi ini kemudian digolongkan ke dalam “penghubung partikel”. Kata-kata lebih banyak bertugas dalam hubngan sintaksis. Aristoteles selalu bertolak dari logika. Ia memberikan pengertian, definisi, dan makna dari sudut pandang logika. Selain membedakan Onoma, Rhema, dan Syndesmoi, Aristoteles juga membedakan jenis kelamin kata. Ia membedakan tiga jenis kelamin kata atas maskulin, feminin dan neuter atau netral. Ia juga mengakui bahwa rhema menunjukkan pula pada tense atau waktu, yaitu Rhema dapat menunjukkan apakah pekerjaan telah selesai, belum selesai dan sebagainya.
Keyakina bahwa bahasa merupakan sebuah sistem diyakini kebenaranya hingga sekarang terutama oleh para ahli linguistik. Banyak aliran-aliran yang pada intinya menganalisa sistem-sistem dalam bahasa bermunculan dan memperkaya keragaman linguistik.
b. Bahasa Sebagai Lambang
Eaerns Cassirer, seorang sarjana dan seorang filosof mengatakan bahwa manusia adalah mahluk bersimbol. Hampir tidak ada kegiatan yang tidak terlepas dari simbol atau lambang. Termasuk alat komunikasi verbal yang disebut bahasa. Satuan-satuan bahasa misalnya kata adalah simbol atau lambang.
Kalau ide atau konsep untuk menyatakan kematian adalah bendera hitam, dan ide atau konsep ketuhanan dilambangkan dengan gambar bintang, maka lambang-lambang bahasa diwujudkan dalam bentuk bunyi, yang berupa satuan-satuan bahasa, seperti kata atau gabungan kata yang sifatnya arbriter. Dalam bahasa Indonesia, binatang berkaki empat yang bisa dikendarai dilambangkan dengan bunyi [kuda], dalam bahasa Inggris berupa bunyi yang ditulis horse dan dalam bahasa Belanda berupa bunyi yang ditulis paard.
c. Bahasa Adalah Bunyi
Hakikat bahasa sebagai bunyi di kupas dengan seksama oleh Kaum Stoik. Kaum Stoik merupakan kelompok filosof atau logikus yang berkembang pada permulaan abad ke-4 SM. Kontribusi mereka cukup besar dalam menganalisis bahasa, walaupun mereka belum lepas dari pandangan logika. Kaum ini membicarakan bentuk-bentuk bermakna bahasa dengan cara membedakan tiga aspek utama dari bahasa yaitu tanda atau simbol yang disebut semainon, dan ini adalah bunyi atau materi bahasa makna, atau apa yang disebut lekton dan hal-hal eksternal yang disebut benda atau situasi itu atau apa yang disebut sebagai pragma. Kaum ini memiliki ketertarikan yang sangat tinggi pada bunyi atau phone, dan mereka membedakan antara legein, yaitu tutur bunyi yang mungkin merupakan bagian dari fonologi sebuah bahasa namun tidak bermakna, dan propheretai atau ucapan bunyi bahasa yang memiliki makna.
d. Bahasa itu Bermakna
Penelitian sitematis tentang konsep ”bahasa itu bermakna” juga dilakukan oleh Kaum Stoik. Dalam bidang lekta, atau makna, mereka mempunyai pandangan yang berbeda dengan analisis logika Aristoteles yang kurang sistematis dan sering absurd maknanya. Aristoteles hanya mengakui adanya onoma dan onomata.
Semua perubahan dari onoma sesuai dengan fungsinya tidak ia akui. Ia sebut itu kasus saja. Hal ini disebabkan oleh karena dasar logika Aristoteles dengan silogismenya yang hanya menggunakan kode huruf A, B, dan C dan tidak mempergunakan bentuk-bentuk onoma secara praktis dalam contoh. Kaum Stoik mengatakan bahwa kasus itupun Onoma yang sesuai dengan fungsinya. Lalu mereka membedakan atas kasus nominatif, genetif, datif, akusatif dan sebagainya. Hal yang sama juga berlaku bagi Rhema. Walaupun Aristoteles telah membedakan rhema dalam tense, ia tetap berbicara tentang sesuatu yang tidak komplit. Kaum Stoik dalam hal ini membedakan rhema dan kategorrhema, yang dalam pengertian kita sekarang memiliki makna finit dan infinit.
e. Bahasa itu Universal
Kaum Modiste adalah filosof jaman pertengahan yang menaruh perhatian besar pada tata bahasa. Mereka disebut demikian karena ucapan mereka yang terkenal dengan nama De modis Sicnficandi. Merekapun mengulang pertentangan lama antara Fisis dan Nomos, antara Analogi dan Anomali. Mereka menerima konsep Analogi karena menurut mereka bahasa bersifat reguler dan universal.
Keuniversalan bahasa dapat dibuktikan dengan adanya sifat dan ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh bahasa-bahasa di dunia. Karena bahasa itu berupa ujaran, maka ciri-ciri universal dari bahasa yang paling umum dijumpai adalah bahwa bahasa-bahasa di dunia mempunyai bunyi bahasa yang umum yang terdiri dari konsonan dan vokal. Bahwa sebuah kalimat pada bahasa-bahasa di dunia tersusun dari kata-kata yang memiliki fungsi dan peran tertentu. Kesamaan sifat dan ciri inilah yang kemudian dikenal sebagai universalitas bahasa.
A. Peranan Filsafat dalam Mengembangkan Ilmu Bahasa
Umur kajian tentang bahasa itu sudah tua. Dimulai sejak zaman Yunani kuno hingga jaman modern. Setiap periode perkembangan kajian bahasa, filsafat berperan secara signifikan. Pada awalnya, filosoflah yang mengkaji bahasa dan memberikan definisi, kategori, membedakan jenis, bentuk dan sifat, dan perbedaan-perbedaan lainnya.
Setelah linguistik mampu berdiri sendiri menjadi satu bidang ilmu yang kukuh, peranan filsafat masih tetap mengakar kuat. Meskipun bukan lagi filosof yang mengkaji bahasa karena telah diambil alih oleh linguis, namun dimensi-dimensi filsafat masih tetap melekat kuat di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh masih tetap diyakininya filsafat bahasa sebagai roh dari ilmu bahasa dalam menemukan teori-teori kebahasaan baru oleh para linguis.
Kelas Sosial, Bahasa dan Sosiolisasi
Kelas sosial mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Misalnya si A adalah seorang bapak di keluarganya, yang juga berstatus sosial sebagai guru. Jika dia guru di sekolah negeri , dia juga masuk ke dalam kelas pegawai negeri. Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan terdidik.
1.Ragam bahasa kelas sosial
Kita melihat di Indonesia kelas sekelompok pejabat yang mempunyai kedudukan tinggi. Tetapi ragam bahasanya justru nonbaku. Ragam bahasa mereka dapat dikenali dari segi lafal mereka, yaitu akhiran –kan yang dilafalkan –ken. Jadi perbedaan atau penggolongan kelompok masyarakat manusia tercermin dalam ragam bahasa golongan masyarakat itu.
2.Peranan Labov
William Labov mengemukakan hasil penelitiannya yang luas tentang tutur kota. Ia mengadakan wawancara yang direkam, tidak dengan sejumlah kecil informan, hanya terdiri dari 340 orang. Dengan ini Lobov memasukkan metode sosiologi ke dalam penelitiannya. Sosiologi menggunakan metode pngukuran kuantitatif dengan jumlah besar, dan dengan metode sampling.
3.Kelas sosial dan ragam baku
Ada kaidah yang baku dalam bahasa Inggris. Jika subjek adalah kata ganti orang ke tiga tunggal, predikat kata kerjanya harus menggunakan sifiks-s. kemudian diadakan penelitian apakah ada hubungan antara kelompok sosial dengan gejala bahasa ini. Penelitian diadakan di dua tempat, yaitu di Detroit dan di Norwich. Informannya meliputi berbagai tingkat kelas sosial, yaitu: Kelas Menengah Tinggi,Kelas Menengah Atas, Kelas pekerja menengah, Kelas pekerja bawah.
B. Keterkaitan Bahasa dengan Komunikasi
Bahasa dengan komunikasai sangat berhubungan. Dalam setiap komunikasi bahasa ada dua pihak yang terlibat, yaitu pengirim pesan dan penerima pesan. Ujaran yang digunakan untuk menyampaikan pesan itu disebut pesan. Dalam ini pesan tidak lain penbawa gagasan yang disampaikan pengirim kepada penerima. Setiap proses komunikasi bahasa dimulai dengan si pengirim merimuskan terlebih dahulu yang ingin diujarkan dalam suatu kerangka gagasan. Proses ini dikenal sebagai istilah semantik encoding.
Ada dua macam komunikasi bahasa, yaitu komunikasi searah dan komunikasi dua arah. Dalam komunikasi searah, si pengirim tetap sebagai pengirim, dan si penerima tetap sebagai penerima. Misalnya, dealam komunikasi yang bersifat memberitahukan, khotbah di mesjid atau gereja, ceramah yang tidak diikuti Tanya jawab. Dalam komunikasi dua arah, secara berganti-ganti si pengirim bisa menjadi penerima, dan penerima menjadi pangirim.
Komunikasi dua arah ini terjadi dalam rapat, perundingan, diskusi dan sebagainya. Sebagai alat komunikasi, bahasa itu terdiri dari dua aspek yaitu: Aspek linguistik, Aspek nonlinguistik atau paralinguistic.
Kedua aspek itu bekerjasama dalam membangun komunikasi bahasa.
Aspek linguistik mencakup tataran fonologis, morfologis, dan sintaksis. Ketiga tataran ini mendukung terbentuknya yang akan disampaikan, yaitu semantik.
Aspek paralinguistik mencakup:
Kualitas ujaran, yaitu pola ujaran seseorang seperti falsetto, staccato, dan sebagainya. Unsur supra segmental, yaitu tekanan, nada, dan intonasi. Jarak dan gerak-gerik tubuh, seperti gerakan tangan,anggukan kepala, dan sebagainya.
Rabaan, yakni yang berkenaan dengan indera perasa. Aspek linguistik dan paralinguistik berfungsi sebagai alat komunikasi, bersama-sama dengan konteks situasi membentuk atau membangun situasi tertentu dalam proses komunikasi.
C. Pengaruh bahasa dalam Ragam kelas Sosial
Perkembangan bahasa yang searah dengan perkembangan kehidupan manusia di abad modern menunjukkan fenomena yang berubah-ubah antara lain dengan penggunaan bahasa sebagai alat pergaulan tertentu yang dikenal dengan variasi bahasa seperti jargon dan argot.
Jargon. Kemungkinan makna asalnya yaitu bunyi “echo” dan merupakan istilah umum yang seringkali mengacu kepada bahasa asing pedalaman yang bermacam-macam. Hal itu dapat ditemukan dalam ucapan yang dirasakan sebagai merepet atau ucapan-ucapan kosong, slang, bahasa pidgin atau bahasa khas dalam perdagangan, profesi atau kelompok lainnya.
Namun demikian, istilah ini juga sering dihubungkaitkan dengan ilmu tertentu seperti hukum dan perundang-undangan, kedokteran dan ilmu pengetahuan yang merupakan jargon teknis maupun jargon saintifik. Bagi kelompok yang tidak professional maupun tidak berprofesi, penggunaan bahasanya dinilai penuh dengan istilah maupun kalimat yang tidak seperti bahasa umumnya sehingga sulit dipahami oleh orang kebanyakan. Namun bagi anggota kelompok professional tersebut, penggunaan istilah itu sangat akrab dan mencapai matlamat yang sesungguhnya.
Problematika Paragmatik Sosiolinguistik
Dalam bukunya tersebut, Schiffrin membahas konteks dalam kaitannya dengan berbagai teori, yaitu teori tindak tutur, pragmatik, sosiolinguistik interaksional, dan etnografi komunikasi. Teori tindak tutur dan pragmatik memandang konteks sebagai pengetahuan, sedangkan sosiolinguistik interaksional dan etnografi komunikasi memandang konteks sebagai situasi dan pengetahuan ihwal bentuk-bentuk umum situasi. Yule membahas konteks dalam kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi referen-referan yang bergantung pada satu atau lebih pemahaman orang itu terhadap ekspresi yang diacu. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, Yule membedakan konteks dan koteks. Konteks ia definisikan sebagai lingkungan fisik dimana sebuah kata dipergunakan. Koteks menurut Yule adalah bahan linguistik yang membantu memahami sebuah ekspresi atau ungkapan. Koteks adalah bagian linguistik dalam lingkungan tempat sebuah ekspresi dipergunakan.
Mey berpendapat bahwa konteks itu penting dalam pembahasan ketaksaan bahasa lisan atau tulis. Mey mendefiniskan konteks sebagai konsep dinamis dan bukan konsep statis, yang harus dipahami sebagai lingkungan yang senantiasa berubah, dalam arti luas yang memungkinkan partisipan berinteraksi dalam proses komunikasi dan ekspresi linguistik dari interaksi mereka yang dapat dimengerti. Konteks berorientasi pada pengguna sehingga konteks dapat disangka berbeda dari satu pengguna ke pengguna lain, dari satu kelompok pengguna ke kelompok pengguna lain, dan dari satu bahasa ke bahasa lain. Mey menambahkan konteks lebih dari sekedar referen namun sebuah perbuatan/tindakan. Konteks adalah perihal pemahaman untuk apakah sesuatu itu. Konteks juga memberikan arti pragmatik yang sebenarnya dan membolehkan arti pragmatik yang sebenarnya menjadi tindak pragmatik yang sebenarnya. Konteks menjadi lebih penting tidak hanya untuk menilai referen dan implikatur yang pantas, tetapi juga dalam hubungan dengan isu pragmatik lainnya seperti tindak pragmatik dan praanggapan. Ciri konteks lain adalah fenomena register. Dengan register, petutur memahami bentuk-bentuk linguistik yang dipergunakan penutur untuk menandai sikap mereka terhadap mitra wicaranya. Yan Huang membicarakan konteks dalam kaitannya dengan nosi dasar semantik dan pragmatik. Menurut Huang, konteks dipergunakan secara luas dalam kepustakaan linguistik, namun sulit untuk memberikan definisi yang tepat. Konteks dalam arti luas mungkin diartikan sebagai pengacuan terhadap ciri-ciri yang relevan dari latar yang dinamis atau dalam lingkungan tempat unit linguistik dipergunakan secara sistematis. Selanjutnya, konteks disusun atas tiga jenis, yaitu konteks fisik, konteks linguistik, dan konteks pengetahuan umum. Konteks fisik mengacu pada latar fisik sebuah tuturan.

artikel andi syahputra harahap ( ICT )

Prosa Fiksi Dalam Sastra Anak
Oleh: Andi Syahputra Harahap
Secara umum unsur-unsur dalam prosa fiksi anak-anak tidak berbeda dengan unsur-unsur prosa fiksi lainnya (dewasa) hanya saja bentuk dan isi dalam fiksi anak lebih sederhana seperti kata The Pipiet (dalam Nurgiantoro,2005), sebenarnya menulis sastra anak lebih sederhana. Namun, kesederhanaan cerita anak sangatlah kompleks, yang ditandai standar baku, tidak rumit dan komunikatif. Dapat disimpulkan fiksi anak berbicara tentang kehidupan anak-anak yang menyangkut segala aspek termasuk yang mempengaruhi mereka.
Adapun unsur-unsur yang membangun fiksi anak adalah sebagai berikut:
1. Tema
Menurut Lukens secara sederhana tema dapat diartikan sebagai gagasan yang mengikat cerita, mengikat berbagai unsur intrinsik yang membangun cerita sehingga tampil sebuah kesatupaduan yang harmonis. Jadi dapat dikatakan tema merupakan pengembangan sebuah cerita. Sebagai sebuah gagasan yang ingin disampaikan tema dijabarkan atau dikonkritkan lewat unsur-unsur intrinsik yang lain terutama tokoh, alur, dan latar. Tema sebuah cerita fiksi merupaka gagasan utama dan makna utama sebuah cerita.
Tema yang tepat digunakan untuk fiksi anak adalah yang bersifat menghibur, mendidik, dan inspiratif. Tema menghibur tepat untuk fiksi anak karena anak-anak akan lebih mudah tertarik untuk membaca, menghibur juga bisa menjadikan anak-anak termotivasi untuk memiliki hobi membaca dan menulis. Seperti cerita anak yang berjudul “Si Kabayan” yang menceritakan seseorang yang bodoh dan malas dengan tingkah-tingkah yang lucu. Selain memberi nasehat cerita tersebut sangat menarik buat anak karena memberi hiburan dan membuat anak tertawa.
Salah satu dominan dalam sastra atau dalam fiksi anak adalah unsur dan fungsi pendidikan. Buku-buku cerita fiksi sengaja difungsikan sebagai salah satu bacaan anak yang memberikan pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Sastra anak yang baik tidak harus berkesan berat, tebal, dan tua sehingga membuat anak merasa terbebani untuk membacanya. Agar tidak bosan, cerita fiksi anak sebaiknya tidak terdapat bacaan yang berceramah. Ada baiknya fiksi anak menceritakan kehidupan yang dialami anak-anak, seperti menyelesaikan pertengkaran atau seperti cerita anak yang berjudul “Si Badung Jadi Pengawas”.
Dalam cerita ini Elisabet Alen yang terkenal badung di sekolah, pada semester tiga di sekolah menjadi anak yang baik. Ia bahkan terpilih oleh anak-anak di sekolahnya menjadi seorang pengawas. Ia bertekat untuk menjalankan tugasnya sebaik mungkin. Akan tetapi, dalam menjalankan tugasnya wanita berparas manis itu cenderung terlibat dalam kesulitan, mulai dari kehadiran Isabela si anak baru yang selalu memunculkan pertengkaran dan mempengaruhi anak-anak lain untuk tidak mematuhi peraturan yang selama ini mereka jalankan. Sampai pada akhirnya tanggung jawabnya sebagai pengawas sukses dan berhasil Karena kesabaran dan kesungguhannya. Dalam cerita ini memberi pendidikan kepada anak tentang tanggung jawab, kejujuran, persahabatan, kesabaran, dan kasih sayang.
Inspiratif berarti memberi kesan yang mendalam sehingga si anak tergerak melakukan hal yang secara tersembunyi disisipkan penulis. Menurut Lukens (2003) sastra hadir tidak untuk mengajar, melainkan membantu kita untuk memahami sesuatu. Biarkan anak menikmati cerita itu secara tidak langsung juga terbantu untuk memahami berbagai persoalan kehidupan yang diangkat menjadi tema, dan biarkan anak menemukan jati dirinya.
2. Penokohan
Tokoh-tokoh cerita adalah hal yang pertama-tama dan terutama menjadi fokus perhatian baik karena pelukisan fisik maupun karakter yang disandangnya. Untuk fiksi anak, jumlah tokoh pada umumnya tidak terlalu banyak. Mungkin dibatasi dengan satu sampai empat tokoh utama, dan lima tokoh pendukung untuk cerita fiksi yang panjang seperti novel.
Dalam cerita fiksi anak tokoh cerita tidak harus berwujud manusia, seperti anak-anak atau orang dewasa lengkap dengan nama dan karakternya, melainkan juga dapat berupa binatang atau suatu objek yang lain yang biasanya merupakan bentuk personifikasi manusia. Tokoh cerita adalah sarana strategis untuk memberikan tujuan pendidikan yang dimaksud.
Dibandingkan dengan fiksi dewasa, cerita fiksi anak memang lebih jelas unsur dan tujuan mendidiknya, namun hal itu tidak harus diartikan bahwa unsur dan tujuan itu mematikan kwajaran unsur fiksi yang lain terutama unsur tokoh. Artinya, unsur dan tujuan mendidik itu haruslah secara implisit menjadi bagian cerita dan unsur fiksi yang memuatnya.
Sebuah cerita fiksi menjadi menarik dan bahkan mencekam karena terjadi pertentangan di antara ke dua kelompok tokoh yang berseberangan. Pertentangan yang lazim terjadi, apalagi dalam cerita anak, adalah antara tokoh yang berkarakter yang jahat. Tokoh yang golongan pertama lazim disebut sebagai tokoh protagonis, sedang yang kedua tokoh antagonis.
Dalam cerita fiksi anak pembedaan antara tokoh protagonis dan antagonis sering lebih eksplisit karena buku bacaan itu sekaligus berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai moral sebagaimana yang diperankan oleh tokoh protagonis.
3. Alur
Istilah yang biasa dipergunakan untuk menyebut alur adalah alur cerita, plot, atau jalan cerita. Pentingnya alur dalam fiksi anak memberikan rasa penasaran dan daya tarik membaca pada anak, bagi anak pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang terjadi, bagaimana kisah selanjutnya, bagaimana akhirnya, hal itu semua menunjukkan arti pentingnya alur dalam cerita fiksi anak.
Dalam kaitannya dengan sebuah teks cerita, alur berhubungan dengan berbagai hal seperti peristiwa, konflik yang terjadi, dan akhirnya mencapai klimaks, serta bagaimana kisah itu diselesaikan. Alur berkaitan berkaitan dengan masalah bagaimana peristiwa, tokoh dan segala sesuatu yang digerakkan, dikisahkan sehingga menjadi sebuah rangkaian cerita yang padu dan menarik. Selain itu, alur juga mengatur berbagai peristiwa dan tokoh itu tampil dalam urutan yang menarik tetapi juga terjaga kelogisan dan kelancaran ceritanya.
Lukens mengemukakan bahwa dalam cerita cerita fiksi anak konflik dapat berupa atau terjadi antara seseorang dengan dirinya sendiri, seseorang dengan orang lain, seseorang dengan masyarakat, dan seseorang dengan alam.
Konflik dapat terjadi di dalam batin seseorang dengan diri sendiri, konflik jenis ini lazim juga disebut sebagai konflik internal. Konflik yang terjadi di antara tokoh-tokoh cerita dapat digolongkan sebagi konflik eksternal, konflik antara seseorang dengan orang lain diluar diri sendiri. Konflik ini lazim terjadi antara tokoh protagonis dan antagonis harus menyangkut hal-hal yang lebih prinsipil yang dalam kaitannya dengan pengembangan alur harus lebih fungsional.
Dalam cerita fiksi anak tampaknya novel yang menampilkan konflik eksternal lebih menarik perhatian anak. Hal ini dapat dimengerti karena anak masih lebih banyak berfikir ke sesuatu yang ada diluar dirinya daripada sebaliknya yang bersifat perenungan. Dalam cerita fiksi fantasi yang menampolkan konflik antar tokoh protagonis dan antagonis, penyelesaian konflik itu pada umumnya memenangkan protagonis yang merupakan pembawa nilai-nilai moral yang idealistik.
Konflik seseorang dengan masyarakat juga tergolong konflik eksternal yang terjadi antara seseorang dengan sesuatu yang diluar dirinya. Kondisi alam yang menyebabkan konflik dapat dikelompokkan kedalam apa yang disebut antagonistic force, yang tingkat intensitasnya mulai dari sederhana dan kesharian samapai yang tergolong serius dan dramatik.
4. Latar
Menurut Lukens dalam fiksi dewasa latar dapat terjadi dimana saja termasuk didalam benak tokoh, sehingga tidak terlalu banyak membutuhkan deskripsi tentang latar. Namun, tidak demikian halnya dengan cerita fiksi anak. Dalam cerita fiksi anak hamper semua peristiwa yang dikisahkan membutuhkan kejelasan tempat dan waktu kejadiannya.
Latar menunjukkan pada tempat, yaitu lokasi dimana cerita itu tejadi, waktu, kapan cerita itu terjadi, dan lingkungan sosial budayanya, keadaan kehidupan bermasyarakat tempat tokoh dan pristiwa terjadi. Kejelasan deskripsi latar penting karena ia dipergunakan sebagai panduan pembaca untuk ikut masuk mengikuti alur cerita dan sekaligus mengembangkan imajinasinya.
Untuk cerita fiksi anak, deskripsi tentang latar cukup penting untuk membantu anak memahami dan mengembangkan imajinasi. Apalagi jika pemilihan latar tempat itu lain daripada yang telah lazim. Cerita fiksi berkisah tentang manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan, maka latar belakang sosial budaya masyarakat yang diangkat menjadi setting cerita harus ikut terbawa kedalamnya.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang dapat dipahami sebagai cara sebuah cerita dikisahkan. Abrams mengemukakan bahwa susut pandang merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengaranag sebagai sarana menampilkan tokoh, tindakan, latar, dan sebagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah teks fiksi kepada pembaca. Jadi, sudut pandang pada hakikatnya adalah sebuah cara, strategi, atau siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengungkapkan cerita dan gagasannya.
Secara lebih konkret dan spesifik sudut pandang adalah siapa yang melihat, siapa yang berbicara, atau dari kacamata siapa sesuatu itu dibicarakan. Kesesuaian sikap dan perilaku anak tersebut dilihat dari kacamata psikologi, yaitu apakah sikap dan perilaku itu sesuai dengan tingkat perkembangan jiwa anak pada usia tertentu.
6. Nilai Moral
Moral, amanat, atau message dapat dipahami sebagai sesuatu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Moral berurusan dengan masalah baik dan buruk, namun istilah moral itu selalu dikonotasikan dengan hal-hal yang baik.
Kehadiran moral dalam cerita fiksi dapat dipandang sebagai semacam saran terhadap perilaku moral tertentu yang bersifat praktis, tetapi bukan petunjuk bertingkah laku. Dengan demikian, kehadiran unsur moral dalam sebuah cerita fiksi, apalagi fiksi anak, tentulah merupakan sesuatu yang harus ada.
Nurgiantoro mengemukakan bahwa dilihat dari sudut persoalan hidup manusia yang terjalin atas hubungan-hubungan tertentu yang mungkin ada dan terjadi moral dapat dikategorikan kedalam beberapa macam hubungan. Dari sudut moral dapat dikelompokkan kedalam persoalan hubungan manusia dengan dirinya, hubungan manusia dengan sesama, hubungan manusia dengan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Berdasarkan keempat hubungan tersebut moral dapat dirinci kedalam jenis-jenis tertentu, yang dapat dipandang sebagai variannya, yang secara konkret ditemukan dalam sebuah cerita, yang jumlahnya relative banyak. Teknik penyampaian moral tidak berbeda dengan teknik penyampaian tema, yaitu dapat bersifat eksplisit dan implisit, penyampaian langsung atau tidak langsung secara terang-terangan atau terselubung.
Teknik penyampaian disebut pertama bersifat menggurui sedang yang kedua membiarkan pembaca anak untuk memahami dan menemukannya sendiri. Sedangkan menurut Lukens mengemukakan bahwa hadir tidak untuk mengajar, melainkan membantu kita untuk memahami sesuatu.
Teknik penyampaian moral secara langsung pada umumnya berwujud petuah langsung oleh penulis cerita, lazimya dalam bentuk narasi, dan tidak menjadi aksi reaksi alur dan karakter tokoh. Sedangkan teknik penyampaian moral secara tidak langsung lazimnya dilakukan lewat jalinan cerita dan karakter tokoh.
Adapun jenis cerita fiksi anak adalah sebagai berikut :
1. Novel dan Cerpen
Novel maupun cerpen hadir ditengah-tengah pembaca adalah untuk menampilkan cerita. Hal itu merupakan sesuatu fakta yang tidak dapat dipungkiri. Kedua karya itu sama-sama dibangun oleh berbagai unsur instrinsik yang sama seperti penokohan, alur, latar, tema, sudut pandang,dan lain-lain. Perbedaan yang paling sederhana adalah menyangkut panjangnya cerita, atau panjangnya halaman yang memuat cerita tersebut.Cerpen biasanya hanya terdiri dari beberapa halaman atau sekitar seribuan kata sedangkan novel jumlah halamannya mencapai puluhan, bahkan ratusan halaman.
Adapun penulis akan memberikan masing-masing sebuah contoh dari cerita anak tradisional dan cerita anak modern serta membandingkan kedua cerita anak tersebut. Penulis bermaksud membandingkan cerita tersebut karena ingin membuktikan mana yang lebih baik diantara kedua cerita tersebut atau yang mana yang lebih bermanfaat terhadap anak.
Cerita anak modern
Superman Kecil
Sehabis belajar Septian duduk-duduk di beranda rumah ditemani nenek, berdua mereka asyik ngobrol dan bercanda bersuka ria. Sementara papa di ruang kerja entah menyelesaikan pekerjaan kantor. Sedangkan mama asyik di dapur bersih – bersih segala peralatan dapur yang kotor.
Sungguh asyik benar mereka berdua entah apa yang dibicarakan. Kadang – kadang nenek tertawa perpingkal – pingkal melihat ulah Septian. Kadang pula giliran Septian yang tertawa melihat kelucuan neneknya itu.
“ Nek, aku kemarin melihat Harry Potter bisa terbang naik sapu. Itu sapunya beli di mana .Nek ? “ pinta Septian merengak minta dibelian sapu yang bisa terbang.
“ Yan, sapu seperti itu tidak di jual di toko, itu hanya ada di film saja, sebenarnya nggak ada sapu bisa terbang, cucuku ! “ jawab Nenek dengan lembut sambil mengusap rambut Septian.
“ Tapi temen – temen rencananya mau ngajak bapak dan ibunya mau beli sapu itu, Nek ? “
Septian masih belum puas dengan jawabanya Nenek tadi. Makanya dia terus mendesak agar Neneknya mau mengantar membeli sapu itu.
“ Ya, sudah, besok kamu tanya teman kamu, belinya di mana. Kalau tahu tempatnya biar Nenek nanti belikan ”
” Harus sekarang, Nek !. Yayan pengin segera naik sapu itu . Yayan pengin terbang kaya Superman”
” Yayan sayang, in i kan sudah malam, lagian sebentar lagi mau hujan. Tuh lihat langitnya sudah gelap, kamu nanti kehujanan bisa masuk angin ”
” Nggak apa – apa Nek, yang penting Yayan bisa terbang dengan sapu itu sekarang ”
” Lho kalau sekarang terbang, kamu akan tersesat nggak bisa pulang. Malam hari begini langitnya sangat gelap , lagian sapunya kan nggak ada lampunya. Kamu bisa nabrak pohon. Sudahlah sekarang tidur ditemani nenek, ya sayangku !. Besok nenek tak nyari, dimana yang jual sapu itu ”
” Besok ya Nek, bener lho. Aku pengen jadi Superman. Horeee. . akulah Superman ”. Septian melonjak-lonjak gembira, karena dia yakin betul besok dia akan bisa terbang mengelilingi rumah dan sekolahnya.
Mereka berduapun kini sudah berada di atas tempat tidur. Septian sudah gosok gigi dan cuci kaki dan tangan. Sementara Neneknyapun sudah tidur disebelahnya.
” Nek, bener lho besok aku dibelikan sapu Superman ya ! , nanti Nenek tak boncengin, pegangan yang kuat ya Nek !, biar nggak jatuh ” rayu Septian kepada Neneknya,
” Jangan kuatir Yan, besok pasti Nenek bonceng. Sekarang tidur dulu. Besok kamu harus bangun pagi biar tidak terlambat sekolah ” jawab Nenek. Septianpun tidak mendengarkan jawaban Neneknya itu, karena dia sudah memejamkan matanya dan tertidur pulas.
Tidak beberapa lama kemudian
” Yan, yayan sayangku, ini sapunya Nenek sudah belikan. Terbanglah ke angkasa sesukamu seperti Gatotkaca atau Superman.
” Oh, , ,Sungguh Nek ?, Aku bisa terbang ?. Aku nggak percaya ?. Lantas bagaimana cara mengendalikannya, Nek ? ”.
” Sapu ajaib ini akan menuruti kata hatimu. Sehingga untuk mengendarainya tidak sulit.
” Bawa sini Nek, aku sudah nggak sabar ”
” Hati – hati cucuku, jangan buru-buru. Meskipun sapu ajaib ini akan menuruti perintah hatimu, namun kalau tidak tenang hatimu sapu ini bisa menjatuhkanmu dan pesan Nenek sapu ini jangan digunakan untuk hal- hal yang jahat cucuku ”
” Baik Nek akan aku ingat terus pesan Nenek ”
Tanpa menunda waktu lagi, Septian segera menaiki sapu itu, yang dijepit diantara kedua kakinya sambil berteriak ” terbang ”.
Maka melesatlah sapu itu ke atas secepat kilat. Padahal Septian tidak siaga sebelumnya, sehingga terpelantinglah dia dan jatuh terjerambab.
” Septian !. kamu nggak apa – apa sayangku ? ” teriak Nenek, sambil membangunkan Septian yang baru saja jatuh bergulingan.
” Aku nggak apa – apa Nek ! ”
” Itulah kan tadi Nenek bilang jangan buru – buru mengendarai sapu ajaib ini. Gunakan pikiranmu dengan tenang maka sapu ini akan menjadi sahabatmu pergi kemana saja . Sekali lagi Nenek pesan jangan digunakan untuk tujuan jahat”
” Baik Nek akan kucoba lagi ”. Tutur Septian dan terbanglah dia kini dengan sapu ajaib yang naik ke atas dengan perlahan. Sehingga kini, baik Nenek atau rumahnyapun sudah nggak kelihatan lagi. Yang terlihat hanyalah permadani berwarna hijau dan gumpalan awan.
Sesekali Septian terbang rendah dan melesat ke kanan - kiri menghindari pepohonan, kadang pula melesat naik ke atas menembus awan. Kadang pula dia turun sambil beristirahat melepas lelah.
Saat melepas lelah itu terlihatlah pohon durian yang persis ada di depannya, dan di perhatikan semua buah-buahnya yang sudah masak. Dia sempat menelan ludah melihat buah durian yang sudah merekah dan berbau sangat menusuk hidungnya.
Tanpa pikir panjang Septian mengambil sapu ajaibnya dan dengan perlahan dia terbang mendekati buah yang sudah masak, Alangkah nikmatnya buah durian ini . aku bisa merasakan dari baunya yang harum. Oh alangkah nikmatnya. Aku bisa menghabiskan satu buah sendirian.
Tangan kanannya segera menarik buah itu dari tangkainya sedangkan tangan kirinya tetap memegangi sapu ajaib itu. Setelah ditarik sekuat tenaga, buah durian akhirnya lepas dari tangkainya dan meluncurlah ke bawah.
Namun tanpa diduga Septian sebelumnya, sapu ajaib itupun turut meluncur bersamaan dengan buah durian tadi. Maka Septianpun menjadi kaget bukan kepalang dan tangannya berusaha memegang apa saja agar dia tidak jatuh ke bawah.
” Toloooong, toloooong. .. .tolong aku Nek ! ” teriak Septian.
Teriakan Septian tadi terdengar cukup keras, hingga mambangunakan Nenek, bahkan Papa dan mama nya pun juga ikut terbangun. Mereka segera menuju ke kamar Septian untuk mengetahui kejadia apa yang melanda putra kesayangannya.
Akhirnya Septianpun cerita kepada kedua orang tuanya tentang mimpinya itu. Sehingga akhirnya Papa dan Mama nya pun merasa lega karena Septian tidak mengalami satu kejadian apapun, ternyata semua itu hanya mimpi saja.
” Makanya Septian,, kalau minta sesuatu sama Nenek, Papamu atau Mamamu jangan yang macam – macam. Sapu terbangkan hanya ada di flm Harry Potter. Ya sudah sekarang tidur lagi besok kamu sekolah ” tutur papanya.
Septianpun tidak menjawabnya, dia segera memejamkan matanya dan kinipun terlelap tidur.
Yang jelas mulai esok hari dia tidak akan manja lagi terhadap Papa dan Mama serta Nenek.








ANALISIS INSTRINSIK CERITA ”SUPERMAN KECIL”
A. Tema
Seorang anak bernama septian yang manja pada nenek nya, dia memiliki daya khayal yang tinggi, sewaktu dia menonton film harry potter dia melihat sapu yang bisa terbang,sehingga dia meminta nenek nya agar membelikan dia sapu yang bisa terbang agar dia bisa terbang seperti superman.
B. Amanat
Adapun amanat yang terdapat dalam cerita ini yaitu kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu kita karna itu dapat membahayakan diri kita sendiri, dan kita juga tidak boleh meminta sesuatu hal yang tidak masuk akal seperti meminta sapu terbang karna sapu terbang hanya da dalam film saja atau hanya ada dalam dunia khayal sehingga itu tidak mungkin ada dalam dunia nyata.
C. Alur
Adapun alur yang di gunakan dalam cerita ini adalah alur maju mundur.
D. Latar
Adapun latar cerita ini yaitu di sebuah rumah tepat nya di dalam kamar, yang di dalam kamar ada seorang anak yang manja dengan nenek nya.
E. Penokohan
Septian : seorang anak yang manja dan mempunya imajinasi yang tinggi.
Nenek : penyayang pada cucu nya serta bijaksana.
Ayah : bijaksana dan tegas
Ibu : penyayang.



Cerita anak tradisional
PAHLAWAN DAUN CABAI
Jalan-jalan ke pematang sawah dan kebun? Di pagi seperti ini? Pasti becek dan licin. Belum lagi udara pegunungan yang menggigilkan tubuh. Brrr.. Lebih enak melanjutkan tidur sambil berselimut.
Kemarin sore Shasa baru saja tiba di rumah Yuyut. Mumpung hari senin besok tanggal merah, mama mengajak papa dan Shasa mengunjungi Yuyut yang tinggal di kaki Gunung. Yuyut itu panggilan sayang Shasa untuk kakek mama. Usianya sudah 85 tahun.
Pagi ini, matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya. Malas rasanya meninggalkan kehangatan selimut di tempat tidur. Namun Iyan, sepupunya, mengajaknya menikmati suasana desa di pagi hari. Walaupun awalnya segan, akhirnya Shasa mengiyakan ajakan Iyan. Mumpung sedang berlibur di desa, kapan lagi bisa menikmati indahnya pagi dengan menyusuri pematang sawah dan kebun?
Ditemuinya mama yang sedang menyiapkan sarapan. Setelah mendapat ijin, Shasa buru-buru mengganti bajunya dengan celana panjang dan kaos lengan panjang untuk menangkal udara pagi yang dingin
Bertiga mereka menyusuri jalan desa menuju pematang sawah. Delu berjalan paling depan. Shasa memandang sekelilingnya dengan kagum. Hamparan padi tampak seperti permadani berwarna hijau. Dari kejauhan terdengar kambing-kambing mengembik di dalam kandangnya. Shasa menghirup nafas dalam-dalam. Ahhh.. udara pagi di desa begitu segar. Gunung Ciremai berdiri dengan gagahnya. Bersih. Tanpa ada bagian yang tertutup awan.
“Hei.. jalannya jangan cepat-cepat dong,” seru Shasa ketika dilihatnya Delu sudah jauh meninggalkan dirinya. Dipercepatnya langkahnya. Uhh.. ternyata tidak mudah berjalan cepat di pematang sawah.
Iyan yang berjalan di belakang Shasa tertawa mendengarnya.
“Kamu terbiasa berjalan di jalanan beraspal sih,” ledek Delu sambil menghentikan langkahnya.
Shasa tidak menggubris ledekan itu. Ia sibuk berkonsentrasi dan menjaga keseimbangan tubuhnya. Beberapa kali Shasa nyaris terpeleset. Untung dengan sigap Iyan sempat memeganginya hingga ia tidak sampai terperosok ke dalam sawah.
“Berhenti dulu dong,” pinta Shasa dengan nafas sedkit terengah-engah. Ia langsung menjatuhkan diri duduk di sebuah batu besar yang ada di dekatnya. Ia yang awalnya kedinginan kini malah berkeringat. Akhirnya digulungnya lengan bajunya. Ahh.. begini lebih nyaman, katanya dalam hati. Setelah beristirahat sejenak mereka melanjutkan perjalanan.
Mereka kini berbelok menyusuri jalan kecil yang melintasi kebun. Kata Iyan, kebun ini milik Yuyut. Sesekali mereka berhenti. Delu dan Iyan bergantian menerangkan nama-nama pohon yang ada di kebun Yuyut. Ada pohon Cengkeh, Melinjo, Rambutan, Durian dan Nangka. Mereka juga memunguti bunga cengkeh yang berjatuhan. Hmm.. Shasa baru tahu rupa pohon cengkeh. Delu juga menunjukkan Cengkeh yang sudah bisa dipetik.
“Nah, yang itu namanya pohon Pisang, Sha,” kata Delu sambil menunjuk sebuah pohon.
“Yeee.. itu sih aku juga tahu,” jawab Shasa dongkol. Bibirnya yang cemberut membuat pipinya menggembung.
“Kirain kamu belum pernah lihat pohon pisang,” Delu berkata dengan kalem. “Biasanya anak kota itu kalau ke desa jadi tulalit dan norak. Padi dikira rumput. Orang sedang memandikan kerbau jadi tontonan. Malah ingin ikut memandikan kerbau. Melihat sungai jernih dengan batu-batu bersembulan langsung histeris dan turun ke sungai bermain air.”
Shasa meringis mendengarnya. Benar juga yang dikatakan Delu. Tiba-tiba Shasa mendesis sambil menggaruk-garuk tangannya yang tiba-tiba terasa gatal dan panas. Dilihatnya bentol-bentol merah bermunculan.
“Aduh.. tanganku kenapa nih?” tanya Shasa panik.
“Sepertinya kamu terkena ulat,” kata Iyan yang berada di dekatnya.
“Ulat?! Hiii…” Shasa bergidik geli. Apalagi ketika dilihatnya seekor ulat Bulu yang berada di daun Jambu di dekat tempatnya berdiri. Ia langsung melompat-lompat kegelian.
“Jangan digaruk, Sha, nanti semakin gatal,” kata Iyang melihat jari-jari Shasa tak berhenti bergerak.
“Aduh.. gatal sekali, aku tidak tahan,” keluh Shasa.
Delu yang tadi menghilang muncul dan menghampiri mereka. Tangannya meremas-remas segenggam daun.
“Pakai ini supaya tidak gatal,” kata Delu.
“Apaan tuh?” tanya Shasa tidak mengerti.
“Daun Cabai,” jawab Delu.
“Daun Cabai itu bisa meredakan gatal-gatalmu,” Iyan membantu menerangkan. Daun Cabai yang sudah hancur teremas-remas itu kemudian dibalurkan di bagian tangan Shasa yang berbentol-bentol merah. Tak lama Shasa merasa rasa gatal yang tadi menyerang berangsur-angsur menghilang.
“Bagaimana?” tanya Delu.
“Sudah tidak gatal seperti tadi,” sahut Shasa lega. “Terima kasih ya, kamu hebat deh bisa menyembuhkan gatal-gatal,” katanya lagi.
“Ah, biasa saja. Semua anak desa sini juga bisa seperti itu,” sahut Delu kalem. Namun tak urung wajahnya tersipu.
Mereka kemudian berjalan beriringan menuju rumah Yuyut. Wah.. Ternyata alam pedesaan bukan hanya menyimpan keindahan pemandangan tetapi juga banyak pengetahuan dan hal-hal menarik lainnya.
Mama yang menyambut kedatangan mereka terkejut melihat lengan Shasa yang masih menyisakan bentol merah.
“Wah, kalau begitu pagi ini Delu sudah menjadi pahlawan yang menyelamatkan Shasa dari bentol-bentol akibat ulat bulu,” komentar mama setelah menyimak cerita Shasa. Wajah Delu kembali bersemu merah.
“Iya, pahlawan daun Cabai karena memakai ramuan daun Cabai untuk menyembuhkan gatal gatalku,” celetuk Shasa. Mama dan Iyan tertawa mendengarnya. Ha.. Ha.. Ha..

ANALISIS INSTRINSIK CERITA “PAHLWAN DAUN CABAI”
A. Tema
Seorang anak yang tinggal di kota pergi berlibur ke rumah kakek nya di desa, disana dia bermain ke sawah bersama sepupu nya pada saat bermain di pinggiran sawah si anak kota ini terkena sengatan ulat bulu sehingga badan nya gatal – gatal.
B. Amanat
Adapun amanat dalam cerita ini adalah sesuatu yang di anggap sepele ternyata dapat bermanfaat bagi kita dan tidak selamanya anak yang berasal dari kota wawasan nya lebih luas di bandingkan anak desa.
C. Alur
Adapun alur yang digunakan dalam cerita ini yaitu menggunakan alur maju.
D. Latar
Adapun latar dalam cerita ini adalah di sekitar sawah di sebuah pedesaan.
E. Penokohan
Delu : anak yang baik dan bijaksana.
Sasha : anak yang manja dan polos.
Kesimpulan :
Menurut pendapat penulis antara cerita anak modern dan cerita anak tradisional sama-sama diminati oleh anak. Namun, dalam hal ini ternyata cerita anak tradisional memiliki tema dan amanat yang jelas dan dapat dimengerti oleh anak (pembaca) sedangkan pada cerita anak modern tidak memiliki tema dan amanat yang kurang jelas.

Sabtu, 28 Mei 2011

kisah nyata yang ku tuliskan

Cerpen
Dilema Cinta 22
Oleh : andi syahputra harahap
Di pagi yang dingin aku terbangun, saat semua orang terlelap dalam tidurnya yang mungkin saja mereka sedang bergelut dengan mimpinya. Kulihat jam menunjukkan masih pukul empat pagi. Aku tersentak bangun karena mimpiku yang aneh. Saat itu aku merasakan seolah-olah yang kumimipikan itu kenyataan. Aku bermimpi berjumpa dengan sosok wanita yang dulu pernah menghiasi dan mengisi hari-hariku.
Di mimpiku itu aku sedang bertelepon dengannya dan ia menyuruhku untuk datang. Saat itu juga aku langsung bergegas untuk menjumpainya. Alangkah terkejut dan kecewanya aku kerena saat aku berjumpa dengannya, ternyata dia dengan seorang pria yang mungkin saat ini dicintainya.
Ya Allah kenapa hal ini harus terjadi padaku? aku bingung harus bagaimana, inikah tujuanmu menyuruhku datang menjumpaimu? “ aku bertanya padanya”, lalu tiba-tiba aku terbangun dan aku tersadar ternyata itu hanyalah mimpi. Mimpi yang sangat menyiksa buatku.
Aku seorang mahasiswa di salah satu universitas negeri di kota medan. Awal perjumpaanku dengannya saat itu aku baru mengawali status sebagai mahasiswa, mungkin bisa dikatakan aku masih belum mengerti akan dunia perkuliahan. Saat itu aku sedang duduk-duduk ditempat temanku bekerja, si Doni namanya. Tak ada niatku sebenarnya untuk melirik wanita bahkan untuk jatuh hati pada saat itu. Temanku itu seorang pengusaha tepatnya penjual kaset. Segala macam kaset dijualnya, mulai dari lagu-lagu sampai film-film terkenal yang sedang popular. Tersentak konsentrasiku buyar karena kehadirannya, ntah kenapa aku ingin sekali untuk mengenalnya namun aku tak berani untuk mengawalinya. Hal yang aneh menurutku karena sebenarnya aku bukan salah seorang yang dikategorika pemalu.
Timbul ide dalam pikiranku untuk menyuruh salah seorang temanku untuk berkenalan dengannya. Kami pun berkenalan, ia bernama Anni namun alangkah terkejutnya aku saat mengetahui ternyata dia berbeda keyakinan denganku. Dalam benakku aku berpikir “oh Tuhan kenapa hati ini mencintai seorang yang beda agama denganku?”. Tapi ntah kenapa pada saat itu aku tidak memperdulikan perbedaan itu. Yang kupikirkan hanya perasaanku, aku kagum padanya.
Aku pun semakin akrab dengannya yang pada akhirnya menjalin hubungan kekasih dengannya, layaknya keinginan seseorang yang mencintai pasti ingin mendapatkannya. Tentu saja itu kudapatkan karena usahaku yang begitu serius untuk mendapatkan hatinya.
Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan bahkan tahun pun berlalu tak terasa saat aku bersamanya. Rasa cinta dan sayang itu pun tumbuh semakin besar diantara kami. Hampir tiga tahun aku menjalani hari-hari yang indah bersamanya, yang kurasakan selama tiga tahun itu perbedaan keyakinan itu tidak begitu berat terasa. Perbedaan itu terasa hanya pada hari minggu, itu pun karena ia harus beribadah layaknya seorang umat kristiani yaitu beribadah ke Gereja. Hari senin sampai sabtu nyaris aku tidak merasakan perbedaan itu.
Pernah terlintas dalam benakku “sampai kapan semua ini terjadi pada hubungan kami?”, memang sangat sulit bagi kami untuk manjalani hubungan ini, karena tak ada satu pun pihak keluarga yang mendukung akan hubungan yang kami jalani ini.
Puncak kekecewaanku terjadi kurang lebih 5 bulan yang lalu, pagi-pagi sekali saat itu masih pukul enam, aku terbangun karena handphone ku berdering, kulihat ternyata dia yang menelpon, alangkah terkejutnya aku saat aku angkat teleponnya, saat itu bukan suara dia yang ku dengar melainkan suara seorang pria yang bernada kuat.
Ternyata itu abangnya, dengan sopan dan tegas abangnya bertanya padaku tentang hubunganku dengan adiknya, lalu aku menjawab “jujur aku mencintai adikmu dengan tulus bang”, abangnya menghargai kejujuran dan perasaanku namun bukan berarti dia mendukung perasaanku itu, justru dia mengingatkanku atau tepatnya menasehatiku bahwa aku dan adiknya tidak pantas menjalin hubungan seperti ini, tidak seperti layaknya orang yang saling mencintai seharusnya didukung. Hanya karena perbedaan keyakinan aku dianggap tak layak untuk bersamanya.
Masih ingat dibenakku apa yang dikatakan abangnya padaku “ kalau kau memang benar-benar mencintai adikku, tinggalkan dia dan biarkan dia hidup bahagia dengan orang yang pantas untuknya, tentu saja orang yang satu keyakinan dengannya” katanya. Tak sanggup rasanya hati ini mendengar perkataan abangnya itu, tidak disadari air mata menetes lalu aku menjawab “ baiklah bang, aku akan melakukannya, aku sangat mencintai adikmu untuk itu aku akan pergi meninggalkannya dan aku berharap dia akan hidup bahagia dengan orang yang lebih pantas dari aku” singkat cerita dua jam kemudian aku langsung berbicara pada si anni, kami membicarakan semua apa yang harus kami lakukan, dan kami sepakat untuk mengakhiri hubungan ini. Namun aku berkata padanya “bong, aku minta sama bongek anggap aku sebagai abangmu sendiri, kita ubah rasa sayang dan cinta kita menjadi abang dan adik. Ternyata kita tidak bisa mencintai layaknya sepasang kekasih, aku ikhlas bong. Mudah-mudahan bongek dapat yang terbaik, aku selalu mendoakan itu”. Saat aku mengatakan kata-kata terakhir itu, jujur aku meneteskan air mata. Ternyata sosok lelaki yang berbadan tegap seperti ku ini luluh dan cengeng karena cinta.
Hari demi hari kulalui dihantui oleh kesepian yang luar biasa menggerogoti perasaanku. Rasa trauma untuk mencintai pun sempat kurasakan bahkan untuk mencintai wanita pun tak bisa lagi kulakukan. Aku lupa bagaimana mengawali cinta itu.
Aku menyadari hal ini terjadi karena aku terlalu mementingkan perasaanku. Aku pengecut, aku seorang pecundang yang tak berani menerima kenyataan pahit. Kenyataan bahwa dia bukanlah untukku. Namun ini harus kuhadapi, itu satu-satunya jawaban dari semua permasalahan hidup yang kuhadapi pada saat itu.
Dua bulan kulalui hidup penuh kehampaan dan dihantui rasa trauma mencintai, bagaikan mayat hidup. Berada ditengah-tengah hidup dan mati. Akhirnya aku bertemu sosok wanita yang luar biasa bagiku. Tentunya ia satu keyakinan denganku, bahkan ia menggunakan jilbab layaknya muslimah yang sesungguhnya. Aku sangat senang dapat bertemu dengannya, dibalik rasa senang itu ada rasa yang lain kurasakan. Aku merasa cinta yang dulu pernah mati dan hilang entah kemana perginya telah datang kembali. Aku bersyukur “ya Allah terima kasih kau telah membuat aku merasakan cinta ini lagi”
Aku sadar kalau aku telah jatuh cinta lagi padanya, dia adik kelasku, sosok wanita berjilbab berkulit hitam manis dengan senyuman yang indah membuat kaki ini tak sanggup menopang tubuh saat melihatnya. Aku pun tak menyia-nyiakan perasaan yang kurasakan saat itu. Dengan sungguh-sungguh aku mencoba untuk meyakinkannya bahwa aku sangat mencintainya. Aku tidak stabil, aku kacau, bahkan aku bisa gila kalau melihatnya dimiliki oleh orang lain.
Akhirnya dia pun yakin dan percaya bahwa aku mencintainya, dia pun menerima aku sebagai kekasihnya. Aku bersyukur pada Allah karena diberikan sosok wanita yang luar biasa “terima kasih ya Allah”.